Nelayan KLU Kalah Saing di Pemasaran

PESISIR: Anak para nelayan yang sedang menunggu kepulang orang tuanya melaut (HERY/RADAR LOMBOK)

TANJUNG-Lombok Utara memiliki 16 kawasan desa pesisir yang tersebar sepanjang di daerah tersebut. Namun, nelayan yang berasal dari Kabupaten Lombok Utara (KLU) ini kalah saing pada saat pemasaran dengan investor dan pengusaha besar. Dengan kondisi seperti ini membuat masyarakat pesisir dicap sebagai masyarakat penyumbang kemiskinan, kampung perkumuhan, dan potensi kriminilitas penyeludupan narkotika.

Untuk menghilangkan persepsi dengan meningkatkan taraf perekonomian yang lebih baik serta permainan pasar. Para nelayan membutuhkan keberadaan pusat pemasaran seperti pembuatan Tempat Pemasaran Ikan (TPI) yang terpusat di Lombok Utara. Sehingga proses transaksi pembelian ikan bisa dilakukan langsung di tempat. “Kita memiliki sebanyak 16 desa pesisir. Memang pesisir selama ini dianggap menyumbang kemiskinan dan perkumuhan, banyak potensi kriminalitas penyeludukan nakrotika, maka selama ini kami berupaya memberdayakan masyarakat pesisir baik bidang pengawasan, peningkatan ekonomi, kelestarian pesisir dan laut serta memberikan pelatihan pembuatan produk olahan ikan,” terang Sekretaris Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan (DPPKKP) Lombok Utara, Wahyu kepada Radar Lombok, Jumat (4/11).

Baca Juga :  Dampak Gempa, Nelayan Merugi Rp26,5 Miliar

Menurutnya, ada beberapa persoalan yang dihadapi para nelayan yaitu hampir semuanya nelayan menggunakan armada tradisional yang tidak bisa membuat penangkapan lebih besar. Tetapi kalaupun melakukan pembaharuan armada, yang perlu menjadi perhatian biaya operasional ditanggung nelayan dengan mengembangkan managemen, kemitraan investor, pengusaha dan nelayan. “Nanti kasihan akan banyak menanggung,” tandasnya.

Penyebabnya belum terintegrasi antara nelayan dan pasar, nelayan selalu berhadapan dengan sistem pasar cukup rumit. Karena, biasanya pembeli akan mengambil dengan harga murah, tidak memiliki nilai tawar tinggi. “Kalau bantuan tetap diberikan baik peralatan dan pengetahuan, tapi belum mampu meningkatkan harga jual dari hasil tangkapannya,” katanya.

Terkait volume penangkapan mengacu angka proyeksi 60 ton ikan per tahun oleh nelayan. Dari jumlah ikan itu tidak semuanya memiliki nilai ekonomi sehingga dibeli murah. Sampai saat ini menjadi persoalan ada di pemasarannya. Misalkan mana ikan-ikan bagus diambil pengusaha (penendak) dengan harga murah, lalu para pengusaha ini menjual ke tempat restoran, pengusaha bakar dengan harga lebih tinggi. Oleh karena itu, saat ini yang sangat dibutuhkan para nelayan adanya TPI. Pihaknya saat ini tengah melihat hasil tangkapan para nelayan dengan kouta keberadaan TPI. “Dari 16 kawasan harus diadakan 2 TPI, sehingga bisa dimanfaatkan secara berkelompok. Karena, berbeda dengan lokasi TPI di kota-kota besar yang memiliki kouta lebih sesuai armadanya,” harapnya.

Baca Juga :  Kebijakan Menteri Susi Semakin Rugikan Nelayan

Dalam memberikan pengetahuan lebih lanjutnya, saat ini pemerintah membuka peluang kepada anak-anak nelayan untuk melanjutkan studi jurusan perikanan atau kelautan dengan biaya gratis. “Ini yang perlu didorong supaya anak-anak nelayan kedepan bisa menjadi pengusah ikan atau lebih baik daripada orang tuanya,” pungkasnya. (flo)

Komentar Anda