Nasib Nelayan Lobster Usai Peraturan Baru: Maju Kena, Mundur Kena

Richardus SH - Pemerhati Nelayan Indonesia [email protected] | +62812.1080.5641

Sebagai negara maritim dengan kepemilikan laut yang sangat luas, terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan di wilayah negara Republik Indonesia diharapkan dapat meningkatkan perekonomian dengan cepat.

Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir dua tahun ini membuat semua segi pendapatan potensial pada nelayan menyurut ekstrim. Harapan muncul ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat beleid baru yang diharapkan bisa membuat nelayan tersenyum, tapi nyatanya peraturan itu membuat mereka tambah resah dan gelisah. Senyum manis berubah jadi kecut ketika mereka menengok perbagai kesulitan yang bakal dihadapi. Beralihnya profesi dari nelayan tangkap sekarang harus beralih menjadi pembudidaya. Itu kalau mereka masih mau “main” lobster, salah satu komoditi mahal di bidang kelautan.

Tak ada cerita lain. Peraturan tidak boleh ekspor Benih Bening Lobster (BBL) itu sudah tidak bisa ditawartawar lagi, sehingga memaksa mereka untuk banting stir menjadi pembudidaya lobster, karena hanya itu yang sekarang diijinkan. Akankah mereka dalam waktu seketika jadi pengusaha pembudidaya lobster yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi?

Ternyata, harapan tinggal harapan.

Senyum bungah di bibir mereka karena yakin bisa menghidupi anak-istri, langsung lenyap begitu mereka memerhatikan detil peraturan baru itu. Nature nelayan yang tadinya – melaut, tebar jala, tangkap dan jual di pasar – sekarang tidak lagi bisa dilakukan. There is no easy money anymore. Mereka harus bersabar, minimal dua bulan agar BBL yang mereka rawat bisa minimal berbobot 5 gram, untuk bisa dijual kepada pembeli.

Kening segera berkernyit. Untuk beli bibit, beli pakan, keramba, butuh modal yang tidak sedikit. Tahap yang mereka lakukan adalah tahap yang paling riskan karena tingkat kematian benih yang tinggi. Benih mati, mereka rugi. Benih tak dirawat dan diberi makan yang layak, mereka rugi. Rugi sama dengan tak dapat uang. Belum lagi harus punya kesiapan cadangan dana untuk hidup sekeluarga selama minimal dua bulan, sebelum bisa memanen hasilnya.

Nah, dilema inilah yang sekarang mereka hadapi. Mau jadi pembudidaya lobster? Harus punya cukup modal, kalau tidak mati di tengah jalan. Mereka pun menjerit. Meski setuju ekspor BBL dihentikan dan berniat melakukan pengembangan budidaya lobster dalam negeri namun mereka menuntut aturan lalu lintas BBL ukuran 5 gram pada Permen KP 17/2021 agar dikaji kembali.

Baca Juga :  Syeikh Zainuddin dan Simbol Optimisme Sasak

Pasalnya ketika aturan ini berjalan, nelayan tangkap – terutama di wilayah perairan sumber benih yang tidak ada pembudidaya lobster – menjadi mati. Mereka harus membesarkan BBL hingga ukuran 5 gram baru mendapatkan penghasilan. Sedangkan proses pembesaran alias pendederan BBL mencapai ukuran lalu lintas ditentukan Permen KP 17/2021 memerlukan teknik khusus, modal dan waktu hingga dua bulan.

Tidak Ada Infrastuktur, Pengetahuan dan Modal

Kondisi seperti sulapan abrakadabra dan sim-salabim untuk mencukupi penghidupan mereka dengan cepat ternyata jauh panggang dari api. Sejak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan, nelayan-nelayan itu samasekali tidak punya pengetahuan tentang budidaya.

Larangan itu membuat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tak ada bimbingan teknis, transfer knowledge atau alih teknologi yang bisa membuat mereka beralih profesi menjadi pembudidaya lobster. Tak ada samasekali.

Selama ini kelompok nelayan tangkap tidak mengerti teknik pendederan. Untuk daerah yang tidak ada pembudidaya lobster lantaran laut selatan ombaknya besar, hasil tangkapan harus dikirim ke daerah lain yang ada pembudidaya lobster. Pengiriman antarpropinsi ini pun bukan tanpa masalah. Membudidaya BBL hingga menjadi lobster ukuran 5 gram agar layak jual, menjadi pekerjaan yang sulit bagi mereka.Pekerjaan praktis dan uang cepat yang tadinya mudah didapat, sekarang sulit dan butuh kesabaran tingkat dewa. Sekarang buat mereka; uang bisa dicari, tapi susah…

Belum lagi hambatan di awal usaha berupa pengajuan ijin budidaya yang untuk nelayan yang jadi momok. Mendaftarkan diri atau KUBnya di OSS (Online Single Submission) untuk bisa jadi pembudidaya saja sudah bingung, Belum lagi melengkapi berkas proposal yang dijamin akan membuat pusing nelayan. Saya rasa nelayan akan sulit untuk membuat dan mendaftar rencana bangunan dan instalasi di laut, mengukur kedalaman laut atau mencari informasi pemanfaatan ruang sekitar.

Nelayan-nelayan di Vietnam, negara di mana budidaya lobster menjadi salah satu komoditi primadona, butuh minimal lima sampai sepuluh tahun untuk bisa jadi pembudidaya kelas wahid. Waktu dan modal yang dibutuhkan cukup banyak dan nelayan di Indonesia belum sampai tahap itu. Infratrukturnya sangat detil dan butuh campur tangan Pemerintah.

Tahap 1 dalam rangkaian panjang pendederan dan pembesaran adalah tahap paling sulit karena factor alam, kecukupan modal untuk pakan dan perawatan. Belum lagi mortality rate yang fluktuatif, mengancam penjualan mereka ke perusahaanperusahaan pembudidaya. Semua faktor ini bila diperhitungkan dengan hambatanhambatan lainnya di atas. Perjalanan masih panjang. Dibutuhkan kesabaran dan pembelajaran yang lama karena bisnis ini berkecimpung dengan kondisi alam yang tak bisa diprediksi seperti membalik telapak tangan.

Baca Juga :  NTB Zerowaste: Antara Buang Anggaran dan Secercah Harapan

Richardus SH – Pemerhati Nelayan Indonesia

[email protected] | +62812.1080.5641

Balai Pelatihan yang harusnya juga dibuat oleh KKP untuk budidaya lobster harus juga digerakkan agar transfer knowledge bisa dilakukan segera. Nelayan nyaman karena punya bisnis yang jadi jati diri mereka, negara juga boleh bernapas lega karena sudah memberikan jalan terbaik untuk nelayan. Everybody happy.

Ancaman

Tampaknya, geliat keluhan dan protes tidak akan terhindarkan bila peraturan ini tidak diubah dan dimudahkan. Akan bertambah banyak di seluruh pelosok Indonesia. Puluhan KUB (Kelompok Usaha Bersama) tempat bergabungnya nelayan-nelayan di Indonesia yang jumlahnya ratusan ribu itu mulai jadi tempat curhat. Topiknya tidak jauh tentang penerapan Permen KP 17/2021 ini.

Salah satu bahasan yang terdengar adalah para nelayan itu akan mendesak Pemerintah agar Permen KP 17/2021 ini segera dikaji ulang. Intinya mereka menyambut baik, namun beberapa perbaikan perlu dilakukan agar kemudahan mereka menjual hasil panen juga dipikirkan lebih detil, karena kebijakan di sektor itu yang paling krusial.

Hal ini sejalan dengan gebrakan Presiden Jokowi agar kemudahan dalam berusaha di semua sector termasuk kepentingan nelayan harus disegerakan. Dalam arahannya, Presiden meminta para menteri sensitif terkait keadaan, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam komunikasi yang dapat berdampak pada masyarakat kecil. Kebijakan yang pro-rakyat dibutuhkan agar dampak dari pandemi Covid-19 ini bisa diatasi dengan cepat. Tapi secepat-cepatnya juga butuh waktu. Permen KP 17/2021 ini baru dikeluarkan pada pertengahan 2021dan diharapkan segera memulihkan perekonomian nelayan. Sedikit mission impossible.

Pembahasan yang detil dengan stakeholders tentu sudah dilakukan, SWOT pasti juga dilakukan para pemangku kepentingan untuk menciptakan yang terbaik. Tapi bila unsur nelayan juga dilibatkan dalam pembahasan awal mungkin polemik ini tak akan muncul. Mau dijalankan, peraturannya menjerat. Tidak dilakukan, keluarga tak makan. Maju kena, mudur kena…

Jangan salahkan nelayan kalau sekarang yang di benak nelayan adalah: “Lebih baik saya jual hasil tangkapan saya ke penyelundup saja, lebih cepat jadi uang.(*)

Komentar Anda