MATARAM (ANTARA)–Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB) mengenalkan dunia arkeologi sejak dini kepada anak-anak melalui kegiatan Belajar Bersama Arkeolog Cilik yang diikuti oleh puluhan siswa sekolah dasar dan sekolah menengah di Pulau Lombok.
“Kami ingin menampilkan metode belajar tentang sejarah dan peradaban dengan cara yang menyenangkan,” kata Kepala Museum NTB Ahmad Nuralam di Mataram, Selasa.
Kegiatan Belajar Bersama Arkeolog Cilik bertajuk “Exploring The Wonders of West Nusa Tenggara” itu baru pertama kali digelar oleh Museum NTB yang melibatkan enam sekolah dasar dan enam sekolah menengah.
Agenda itu berlangsung selama dua hari pada 22-23 Oktober 2024 bekerja sama dengan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). Hari pertama diikuti khusus sekolah dasar dan hari kedua khusus sekolah menengah.
Nuralam menuturkan NTB adalah daerah yang sangat kaya dengan sejarah kebudayaan dan peradaban masa lalu, namun peneliti arkeologi masih sangat sedikit.
Menurutnya, upaya mengenalkan dunia arkeologi sejak dini dapat menumbuhkan minat anak-anak NTB untuk menjadi arkeolog pada masa depan.
“Kami berharap anak-anak menjadi generasi yang mencintai sejarah dan mencintai produk peradaban nenek moyang. Minimal mereka balik ke museum lagi untuk melihat benda-benda mana yang mungkin mereka terlewatkan,” ujar Nuralam.
Museum NTB mengajarkan kepada siswa sekolah tentang bagaimana proses ekskavasi barang-barang bersejarah yang tertimbun tanah.
Sebanyak 25 siswa sekolah dasar dari enam sekolah dibagi ke dalam enam kelompok. Kemudian mereka diminta mencari miniatur benda-benda bersejarah yang tertimbun di dalam pasir menggunakan spatula dan kuas.
Beberapa anak yang tidak sabar langsung menggali pasir dengan tangan, namun tak sedikit pula yang menggali secara perlahan hingga menemukan barang-barang kuno yang tertimbun.
Ketua IAAI Wilayah Bali dan Nusa Tenggara Iwan Kristiawan mengatakan arkeologi adalah salah satu ilmu penting yang memahami siklus kehidupan, dinamika kehidupan yang harmoni, maupun harmonisasi kehidupan dari masa lalu sampai masa kini.
“Melibatkan anak-anak terutama di sekolah dasar dan sekolah menengah (dalam mempelajari arkeologi) memberikan gambaran kepada kita tentang konsep inklusifitas,” pungkas Iwan yang berprofesi sebagai Dosen Arkeologi Universitas Udayana tersebut. (Sugiharto Purnama/Risbiani Fardaniah)