
MATARAM—Keberadaan naskah-naskah kuno di Provinsi NTB, khususnya pulau Lombok, adalah rekam jejak seni budaya, ilmu pengetahuan dan berbagai aktifitas nenek moyang di masa lalu, yang dapat dijadikan pembelajaran di masa sekarang.
Hanya saja, peninggalan manuskrip atau naskah kuno itu tertulis menggunakan huruf atau aksara, serta bahasa di masa itu. Sehingga sulit dipahami oleh generasi masa kini.
Karena itu, sebagai upaya pengenalan dan pembelajaran naskah kuno kepada generasi muda, Museum Negeri NTB menggelar giat “Bedah Naskah Lontar”, yang diikuti 50 mahasiswa/mahasiswi dari berbagai perguruan tinggi di Lombok, Selasa (14/6).
“Memang, biasanya manuskrip Sasak (Lombok) ini menggunakan bahasa Kawi atau Jawa Kuno. Selain juga ada naskah yang tergolong baru, ditemukan menggunakan campuran beberapa bahasa, seperti Sasak, Bali, Jawa, dan Melayu,” kata Kepala Museum Negeri NTB, Bunyamin, M.Hum, dalam sambutan.
Disampaikan Bunyamin, dari sebanyak 7.600 lebih koleksi benda-benda bersejarah yang dimiliki Museum Negeri NTB. Tercatat ada sekitar 1.392 koleksi filologika (naskah kuno), baik dalam bentuk tulisan di atas daun lontar, kulit kayu, pelepah pinang, maupun kertas.
“Museum NTB juga telah dua kali menggelar “Sekolah Filologika”, yakni program belajar cara membaca, menulis, menerjemahkan, dan juga bagaimana merawat naskah-naskah kuno agar tidak rusak dimakan usia,” jelas Bunyamin.
Dan kali ini, sebagai tindak lanjut dari Sekolah Filologika, Museum NTB kembali menggelar kegiatan “Bedah Naskah Lontar”, yang pada kesempatan ini dikhususkan membedah atau membahas “Naskah Lontar Labangkara”.
“Mengapa Labangkara? Karena naskah jenis ini relatif lebih sedikit dibandingkan dengan naskah jenis lainnya yang ada di Lombok. Sehingga dapat dikatakan langka,” ujar Bunyamin.
“Harapannya, para mahasiswa/mahasiswi yang menjadi peserta Bedah Naskah Kuno Museum NTB kali ini memiliki pengetahuan tentang Naskah Kuno Labangkara. Sekaligus menumbuhkan dan membangkitkan kecintaan generasi muda terhadap benda-benda bersejarah warisan leluhur,” harap Bunyamin.

Senada, Budayawan NTB, sekaligus narasumber kegiatan Bedah Naskah Lontar Museum NTB, HL Agus Fathurrahman, menyampaikan bahwa Naskah Labangkara memang langka, dibandingkan dengan naskah-naskah kuno jenis lainnya yang ada di Lombok.
“Bahkan di Museum NTB sendiri, Naskah Lontar Labangkara ini hanya ada lima buah saja. Itu pun hasil dari pengadaan tahun 1976 dua buah, dan kemudian tahun 1982 tambah lagi tiga buah. Pengadaan itu pun ketika saya (masih) menjadi Kepala Museum NTB,” ujar Miq Agus, sapaan akrabnya.
Dari lima buah Naskah Labangkara koleksi Museum NTB tersebut, sambung Miq Agus, meski namanya sama, tetapi isinya agak berbeda. Itu karena ditulis atau disadur di masa yang berbeda, dan juga dengan Bahasa Kawi atau Jawa Kuno.
Selain di Museum NTB, Naskah Labangkara ini juga masih banyak dijumpai menjadi koleksi di masyarakat.
“Namanya (Bahasa) Kawi, artinya ya mengarang aja. Jadi isi atau cerita naskah yang ditulis tentu juga sebuah persepsi atau mengarang. Namun laiknya karya sastra, meski tokoh-tokohnya sama, namun alur kisah atau ceritanya masing-masing naskah berbeda. Dan ini yang menarik. Karena Naskah Labangkara ini seperti Novel. Jadi mengapa kisah Novel ini tidak kita bedah, buka, dan sebar luaskan, agar masyarakat, khususnya generasi muda mengetahui apa cakupan atau kandungan dalam Naskah Labangkara,” tandas Miq Agus.
Demikian karena pengadaan lima Naskah Labangkara di Museum NTB itu jaman dia saat masih menjadi Kepala Museum, maka isi atau ceritanya juga telah dia baca dan pahami.
“Karena itu, mengapa dalam Bedah Naskah Kuno Museum NTB kali ini saya tidak mengambil naskah yang dari koleksi Museum. Tetapi saya ambil Naskah Labangkara dari koleksi yang ada di masyarakat,” ujar Miq Agus.
Untuk sinopsis Naskah Labangkara yang dibedah sambung Miq Agus, dari karakter pupuh (sastra)-nya, secara garis besar berkisah tentang seorang anak bernama Labangkara, yang rindu kasih sayang, dan ibunya Raninda Ping Sanga (Janda Sembilan Kali), yang rindu memberikan kasih sayang.
“Perjalanan ke duanya kemudian dipertemukan oleh nasib, untuk mencapai kesempurnaan kasih sayang,” beber Miq Agus.
Cerita dimulai dari seorang Raja yang sangat angkuh, sombong dan lainnya, mimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita, dari Kayangan, bernama Dewi Supraba. Kemudian Raja memerintahkan bawahannya, mulai dari Patih Mangkubumi, dan para prajuritnya, untuk mencari keberadaan sang putri tersebut.
Dalam masa pencariannya itu, Patih Mangkubumi bertemu dengan seorang anak kecil, usia 6 atau 7 tahun, yang sedang mencorat-coret tanah. Kemudian Patih Mangkubumi bertanya “sedang apa?”, yang dijawab oleh anak itu, “sudah lihat saya sedang gores tanah, masih juga bertanya. Apalagi mau bertanya yang tidak dilihat dan tidak diketahui”.
Jawaban anak kecil bernama Labangkara ini pun tak ayal membuat Patih Mangkubumi menjadi penasaran, dan selanjutnya kembali bertanya “apa yang saya tidak saya lihat, dan apa yang saya tidak ketahui?”.
Dijawab lagi oleh Labangkara, “Tuan lagi disuruh oleh tuannya (Raja), yang tuannya tuan sendiri tidak tau dan tidak mengetahui. Mimpi kok dicari. Kalau orang cari apa yang ada dalam mimpi, berarti orang itu kalau tidak waras ya gila”.
Mendapat jawaban itu, Patih Mangkubumi pun terkejut, bagaimana ada seorang anak kecil mengetahui apa yang menjadi tugasnya dari sang Raja.
Sementara dia sendiri belum pernah mengatakan kepada siapapun.
Selanjutnya Patih Mangkubumi membawa anak kecil itu menghadap ke Istana Raja. Dan dari sini lah cerita berlanjut, dan berlanjut menjadi rangkaian kisah yang menarik untuk disimak.
“Namun kalau generasi muda sekarang tidak mengetahui cara membaca naskah kuno seperti Naskah Labangkara ini, ya percuma saja. Karena itu, mengapa penting mempelajari ilmu filologika, dan memperbanyak kegiatan-kegiatan bedah naskah kuno (lontar) seperti yang digelar Museum NTB ini,” ucap Miq Agus. (gt)