Mulai Januari 2023 Harga Rokok Naik

MATARAM—Harga rokok dan berbagai produk hasil tembakau bakal naik mulai 1 Januari 2023 mendatang. Itu menyusul adanya keputusan pemerintah yang menetapkan kenaikan harga jual eceran dan tarif cukai hasil tembakau (CHT) per batang rokok.


Ketentuan mengenai kenaikan tarif CHT ini tertuang didalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2022 tentang perubahan atas PMK 192/pmk.010/2022 tentang tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) berupa rokok elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau lainnya.
Menanggapi itu, Ketua Asosiasi Petani Tembakau (APTI) Provinsi NTB, Sahminudin tegas menolak keputusan Kementerian Keuangan menaikkan cukai rokok tembakau dan rokok elektrik (Vape) selama dua tahun ke depan. Pasalnya, kenaikan CHT sangat merugikan petani maupun industri hasil tembakau (IHT).
“Jauh sebelum pemerintah mengumumkan kenaikkan CHT, bukan hanya APTI saja yang keberatan, pelaku IHT pun keberatan. Dalam sejarah kenaikkan CHT, baru kali ini diumumkan kenaikan CHT dua tahun berturut-turut (2023 dan 2024),” kata Sahminudin, kepada Radar Lombok, Selasa (20/12).
Sahminudin menyebut akibat kenaikkan CHT itu, dikhawatirkan membuat perusahaan rokok dengan sengaja memproduksi rokok dengan harga murah dan kualitas rendah. Demi menarik konsumen untuk membeli rokok. Mengingat konsumen tembakau cenderung mau membeli rokok dengan harga murah.


“Namanya barang murah, tentu perusahaan akan membeli tembakau dengan harga yang jauh lebih murah. Sementara biaya produksi tembakau ditingkat petani terus mengalami peningkatan,” ujarnya.
Sahminudin menuturkan, sejatinya pemicu tumbuh dan berkembangnya perokok pemula adalah kebijakan tarif CHT yang tinggi. Terlihat dari harga rokok bercukai yang biasa dibeli Rp 19.000 – Rp. 23.000 per bungkus, kini naik menjadi Rp 22.000 – Rp. 37.000 per bungkus.


Alih-alih mengurangi perokok, kenaikan CHT justru akan menambah laju tumbuh kembang perokok pemula. Sebagai contoh begitu banyak anak muda membeli tembakau kemasan dengan harga Rp 2000—Rp 10.000 per bungkus karena sudah tersedia kertas rokok didalam kemasan. Dimana rokok itu setara dengan dua sampai lima bungkus rokok rokok bercukai.
“Jika kita mau jujur, pemicu dan pemacu tumbuh dan berkembangnya perokok pemula adalah kebijakan tarif CHT yang tinggi. Tidak disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi, terlebih lagi dimasa Pandemi Covid-19,” terangnya.


Sementara ditengah harga rokok bercukai yang melangit. Pendapatan masyarakat tetap, bahkan tidak sedikit yang mengalami pemutusan kerja di perusahaan tempat mereka bekerja. Akibatnya melinting sendiri menjadi pilihan terkhir bagi perokok aktif. Mereka sudah tidak malu lagi, karena banyak yang melakukan hal yang sama.
“Mau tidak mau petani legowo. Habis bagaimana menghadapi yang pura-pura tuli. Suatu saat akan jadi bumerang. Konsumen rokok ramai-ramai ke rokok murah. Target penerimaan negara tidak akan tercapai,” tegasnya.
Bagaimana tidak, DPR RI khususnya Komisi XI saja sudah tidak digubris Pemerintah Pusat. Sejak kenaikkan CHT 2021, DPR RI hanya diajak dengar pendapat setelah kenaikkan ditetapkan.


Bahkan untuk kenaikkan CHT 2023 dan 2024, dalam rapat terbatas (Ratas) Presiden, Kemenkeu, Kemenkes dan Kemenaker. DPR RI khususnya Komisi XI dan sejumlah Kementerian seperti Kementan, Kemenperin dan Kemendag tidak diikutsertakan.
“Lucunya, DBHCHT itu dua persen dari total penerimaan CHT. Kelihatan besar DBHCHT bertambah satu persen, tetapi peningkatannya untuk membunuh IHT Indonesia. Kebijakan yang benar-benar bar-bar,” ketusnya.
Sementara beberapa pedagang rokok mengaku khawatir pasokan sekaligus permintaan rokok akan berkurang. Jika Pemerintah benar menaikkan harga rokok di 2023 mendatang.
Salah satunya adalah Sumiatun, pedagang warung di Labu Api, Lombok Barat, yang mengeluh dengan rencana kenaikan harga salah satu barang dagangan yang paling laris di tokonya itu. “Kalau rokok naik, yang kami takutkan pembeli pasti menurun. Apa lagi naiknya lumayan,” ujarnya.


Sementara pedagang lainnya, Marsinah menyebut dengan kebijakan tersebut, dia mengaku hanya bisa pasrah. Pasalnya, dari seluruh produk di warungnya, rokok menjadi komoditas yang paling laku dan berperan besar dalam menopang bisnis Marsinah.
“Yah saya kan cuma pedagang kecil, mau gimana lagi. Paling juga saya bisa ikut pemerintah aja. Cuma saya takut berkurang aja pendapatan saya,” keluhnya. (cr-rat)

Komentar Anda