TANJUNG-Jaringan Peduli Anggaran (JPA) Kabupaten Lombok Utara (KLU) mengkritisi tinggginya mobilitas kunjungan kerja (kunker) Anggota DPRD KLU ke luar daerah, sementara produktivitas DPRD KLU dianggap minim.
Koordinator JPA KLU, Marianto menerangkan, secara aturan, kunker memang diperbolehkan undang-undang. Namun tentunya harus seimbang antara biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk kunker dengan hasil kunker tersebut.
Marianto pun membeberkan, bahwa dalam sebulan saja, kunker ke luar daerah untuk satu Anggota DPRD KLU mencapai empat sampai enam kali. Kemudian biaya kunker per anggota Rp 12 juta sementara Pimpinan DPRD KLU Rp 17 juta. Betapa banyak kata Marianto uang yang harus dikeluarkan untuk sekali kunker 30 Anggota DPRD KLU. “Pernah tidak mereka publikasikan apa yang mereka dapatkan dari hasil kunker? Sekarang akurasinya harus jelas, harus seimbang antara mobilitas kunker yang tinggi dengan produk hukum yang dihasilkan,” tegasnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Fraksi Hati Nurani Rakyat (Hanura) DPRD KLU, Ardianto menerangkan, kunker itu terbagi dua, kunker untuk melakukan konsultasi dan studi banding. Kunker memang merupakan bagian tugas dari anggota dewan yang sudah diatur undang-undang. Namun tentu kinerja dewan tidak bisa diukur hanya dari dari kuantitas produk hukum atau peraturan daerah (perda) yang disahkan, melainkan kualitas juga harus diutamakan.
Dalam rangka menghasilkan perda yang berkualitas tentunya anggota dewan membutuhkan masukan, belajar, kemudian perbandingan dengan di daerah lain, agar apa yang dihasilkan benar-benar berkualitas. Karena bagaimanapun juga, masing-masing anggota dewan memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda. Sehingga membutuhkan banyak masukan, dan belajar untuk membahas perda yang diajukan pemerintah.
Karena perlu diketahui pula kata Ardianto, tidak semua rancangan perda (raperda0 yang diajukan pemerintah itu, layak untuk disahkan. Contohnya saja Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok) yang sempat ditolak tahun ini, karena di dalamnya masih sangat banyak kekeliruan.
Kemudian berkaitan dengan selentingan yang berkembang bahwa DPRD KLU tidak memiliki raperda inisiatif atas inisiasi anggota dewan, dijelaskan Ardianto, tahun ini Pemerintah KLU berencana mengajukan 27 raperda untuk dibahas. Dengan jumlah sebanyak itu, tentunya tidak ada ruang untuk DPRD KLU mengajukan perda inisiatif. “Perda inisiatif dewan ini juga anggarannya besar. Kalau pemerintah bisa mengajukan, saya kira sama saja,” terangnya.
Perlu diketahui kata Ardianto, dari 27 raperda yang tercatat dalam program legislasi daerah (prolegda) tahun 2016, baru 11 raperda yang diserahkan pemerintah ke dewan. Delapan di antaranya sudah dibahas dan disahkan. Kemudian tiga lagi yaitu raperda pengangkatan kepala desa dan raperda perangkat desa serta raperda RPJMD yang baru masuk 13 Juli, menunggu untuk dibahas. “Kemarin kita baru sahkan satu, tapi tidak masuk dalam prolegda, yaitu perda pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD 2015,” terangnya.
Ardianto pun menambahkan, dulu banyak yang mempersoalkan terkait agenda kunker dewan dan sempat dengar pendapat dengan dewan. Namun pada akhirnya orang-orang yang mempermasalahkan kunker tersebut masuk ke dewan, malah hampir tidak pernah absen untuk pergi kunker. “Bahkan ada dulu yang baru masuk dewan, tegas ngomong mau kurangi kunker, eee ujung-ujungnya minta nambah,” jelasnya.
Anggota DPRD KLU dari Fraksi Golkar, Raden Nyakradi menambahkan, hasil kunker dewan sendiri, khususnya panitia khusus (pansus) itu ada laporannya. Di dalam laporan tersebut dijabarkan hasil dari kunker itu sendiri. “Jadi kunker itu tidak main-main, dalam rangka menghasilkan produk hukum yang berkualitas,” terangnya. (zul)