MENYAKSIKAN RITUAL PERANG TIMBUNG DI DESA PEJANGGIK

Ritual perang timbung atau penimbungan memang tidak termasyhur seperti perang topat di Pura Lingsar Lombok Barat. Tapi bagai masyarakat Desa Pejanggik, perang ini masih dianggap sakral karena merupakan perintah sang raja. Perang itulah yang dilakukan masyarakat Pejanggik setiap tahun pada hari Jumat minggu pertama bulan 4 penanggalan Sasak.


SAPARUDIN-PRAYA


JUMAT sore (26/8), sekitar pukul 17.30 Wita. Ribuan masyarakat Desa Pejanggik dan sekitarnya tumpah ruang di Makam Serewe, makam para raja-raja Pejanggik. Mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berada di area makam dan kelompok kedua berada di luar makam.

Kedua kelompok ini masing-masing sudah dilengkapi dengan senjata berupa kepalan timbung, jajan khas masyarakat Sasak yang terbuat dari beras ketan dicampur santan dan dibakar menggunakan bambu. Jajan itulah yang menjadi senjata para kelompok yang hendak melaksanakan ritual perang timbung ini.

Sekitar pukul 17.30 Wita, usai melaksanakan beberapa ritual lainnya. Mereka kemudian berteriak seolah melakukan perang betulan. ‘’Serang, serang!,’’ seru salah satu kelompok.

Lemparan demi lemparan pun mulai dilakukan dengan pengawasan ketat. Nampak, para panitia berpakaian adat warna hitam mengawasi jalannya perang di tengah arena. Jangan sampai perang ritual disalahartikan dengan menggunakan batu atau bahan keras lainnya. Sehingga akan membuat suasana tidak kondisif.

Para tokoh masyarakat setempat mengawasi kedua kelompok yang didominasi muda-mudi itu. Mereka tidak ingin, ritual itu berubah menjadi ajang perselisihan yang seungguhnya berasal dari fatwa raja untuk menyambung tali silaturrahmi dan tolak balak.

Baca Juga :  Simbol Toleransi di Tengah Menguatnya Sektarianisme

Sejarah perang timbung itu sendiri berasal dari raja Pejanggik bernama Datu Mas Pemban Aji Meraja Kusuma (Datu Pemban Pejanggik). Dimana Pejanggik merupakan salah satu kerajaan tua di pulau Lombok, yang berasal dari pecahan kerajaan Selaparang. Konon, waktu Pejanggik diperintah Datu Pemban Pejanggik, kondisi kerajaan sedang mengalami kesalahpahaman dan ketidakharmonisan dengan kerajaan Selaparang.

Jika tidak secepatnya dicarikan solusi, ditakutkan akan menjadi petaka bagi kerajaan itu. Sebagai seorang raja yang fatanik dengan Islam, maka Datu Pemban Pejanggik melakukan ritual tapa brata. Sehingga diberikan hidayah, bahwa kerajaan itu akan ditimpa malapetaka yang dahsyat dan akan mengalami keruntuhan.

Setelah mendapatkan petunjuk itu, Datu Pemban Pejanggik kemudian mengumpulkan seluruh pemanting (punggawa) kerajaan dan pandita (tabib) yang untuk menerjemahkan hidayah itu. Setelah bermingu-minggu lamanya merumuskan hidayah itu. Keluarlah usulan dari salah seorang pandita, bahwa segala sesuatu cobaan yang berikan Tuhan Yang Maha Esa pasti ada hikmahnya. ‘’Tuhan menurunkan cobaan pasti ada hikmahnya, Tuhan menurunkan penyakit pasti ada penawarnya usul sang pandita waktu,’’ tutur tokoh masyarakat Pejanggik, Lalu Satre.

Usulan itu, katanya, tidak lain adalah membuat jajan timbung untuk disantuni kepada seluruh rakyat dan anak yatim piatu. Setelah keputusan itu disepekati, maka dibuatlah jajan itu dan seluruh rakyat Pejanggik dikumpulkan di alun-alun kerajaan. Setelah rakyatnya berkumpul, raja memberikan wejangan bahwa kerajaan itu akan mengalami bencana yang sangat dahsyat dan akan runtuh.

Baca Juga :  Alumni Perang Suriah Menyebar di Seluruh Indonesia

Unuk itu, seluruh rakyat Pejanggik harus melaksanakan ritual itu untuk mengantisipasi terjadinya bencana, atau sebagai ritual untuk menolak balak. ‘’Ritual itu sebagai wujud persembahan kepada sang pencipta,’’ katanya.

Secara hukum agama, tambahnya, ritual itu dihajatkan untuk menyambung tali slaturrahmi antara satu sama lain. Rituan itu juga dilakukan untuk bersedekah kepada masyarakat miskin dan anak yatim, sedekah itu dihajatkan untuk menolak balak dengan mengharapkan ridho Tuhan.

Karenanya, perintah raja itu masih kental dilakukan dan dilestarikan masyarakat Desa Pejanggik, hingga sekarang.  Ritual itu masih dinilai sebagai perintah sang raja dan sesepuh kerajaan yang harus dilakukan setiap hari Jumat bulan 4 penanggalan Sasak. ‘’Dan kami tidak boleh melakukannya di hari Jumat minggu terakhir bulan itu,’’ jelasnya.

Ditambahkan Wakil Bupati Lombok Tengah, L Pathul Bahri, budaya perang timbung ini harus dilestarikan. Budaya ini bakal menjadi salah satu acara budaya di daerah ini. "Untuk menjaga dan melestarikan perang timbung ini, saya akan mengajukan perayaan ini masuk dalam kalender Lombok Tengah," janjinya.

Kata Pathul, ia sudah mendengar sejarah perang timbung ini sejak masih kecil dan sempat ikut meramaikan acara budaya itu. Karenanya, Pathul mengajak seluruh lapisan masyarakat, khususnya di kalangan pemuda untuk menjaga dan mempertahankan kebudayaan ini. ‘’Ini adalah salah satu warisan budaya nenek moyang kita yang harus kita jaga,’’ tutupnya. (**)

Komentar Anda