Sebelum melepas kepala kerbau ini, sambung dia, pemangku adat akan mendapatkan tanda atau bisikan. Baru kemudian rombongan nelayan akan berangkat menggunakan perahu. Proses pelepasan membawa kepala kerbau nyelamaq laut ini tidak bisa ditunjukkan orang biasa. Ada sejumlah masyarakat dalam kondisi kesurupan yang akan menunjukkan lokasi tempat terumbu karang berada. Tempat ini dipercayai sebagai lokasi menghilangnya salah satu tokoh pada masa sebelum ritual ini dilakukan.
Begitu juga dengan waktu pelepasan, aka nada aba-aba atau semacam instruksi dari anak-anak yang kesurupan. Anak-anak ini diyakini sebagai pemberi petunjuk ini dibawa menggunakan perahu dan dijaga puluhan masyarakat dalam satu perahu khusus yang disepakati masyarakat. ‘’Masyarakat rombongan yang mengiringi ritual ini juga tidak boleh mendahului perahu yang ditumpangi anak-anak yang kesurupan ini. Begitu juga ketika kepala kerbaunya dilepas, masyarakat tidak boleh di depan. Kalau tidak, anak-anak ini seketika marah dan ngamuk sambil menunjuk. Kita tidak tahu kenapa mereka marah,’’ katanya.
Setelah selesai melepas kepala kerbau ke dasar laut, masyarakat yang kesurupan akan dimandiin menggunakan air laut. Begitu juga semua isi rombongan di atas perahu dan tamu akan disiram air laut. Mereka tidak boleh marah ketika disiram.
Cuma saja, lanjut Saifullah, tradisi ini tidak bisa dilaksanakan setiap tahunnya. Kendalanya adalah masalah keuangan masyarakat untuk melaksanakan tradisi ini. Padahal, tradisi ini snagat penting dilakukan dan dilestarikan. Karena tujuan sebenarnya adalah menyelamatkan laut dan terumbu karang dari tangan jahat manusia yang tidak bertanggung jawab. “Sebenarnya nenek moyang kita meninggalkan kita tradisi ini sebagai upaya untuk melestarikan terumbu karang, menjaga dari pengeboman, dan menjaga kebersihan laut kita. Itu intinya,” katanya. (**)
