Menyaksikan Ritual Nyelamaq Laut Warga Desa Tanjung Luar

Sebagai Wujud Syukur Menjaga Laut dan Terumbu Karang

Ritual Nyelamaq Laut
NYELAMAQ : Inilah ritual nyelamaq laut yang dilakukan masyarakat Desa Tanjung Luar Kecamatan Keruak Lombok Timur yang notabene masyarakat nelayan untuk menjaga laut. (JANWARI IRWAN/RADAR LOMBOK)

Heterogennya suku bangsa, budaya, bahasa, dan adat istiadat menjadi wajah masyarakat Indonesia selama ini. Salah satunya adalah ritual masyarakat tertentu yang masih eksis dilakukan karena dianggap sakral. Seperti yang dilakukan masyarakat Desa Tanjung Luar Kecamatan Keruak Kabupaten Lombok Timur. Setiap tahunnya menggelar ritual untuk menyelamatkan laut yang mereka sebut dengan nyelamaq laut.


*JANWARI IRWAN-LOMBOK TIMUR*


RITUAL nyalamaq laut ini mulai diselenggarakan sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Waktu itu, para pembesar Belanda konon begitu antusias dengan acara ini, terutama pada saat siraman air laut. Mereka ikut disiram air laut dan sangat senang menonton acara pencak silat dengan iringan gendang pencak yang disebut sarone.

Seiring waktu, ritual ini sempat mereduppada zaman penjajahan Jepang. Upacara mengumpulkan massa sangat dilarang waktu itu. Karena Jepang khawatir akan muncul pengerahan massa yang menentang kehadiran mereka. Namun, nelayan bersikeras melaksanakannya dengan dipimpin tokoh saat itu yang berasal dari Batu Nampar bernama Wak Nunok tahun 1943. Sejak saat itu, upacara ini tetap digelar rutin. “Filosofinya adalah suku-suku Sulawesi perantauan bersama-sama melakukan nyelamaq di laut di Tanjung Luar,” sungkap salah satu tokoh masyarakat Tanjung Luar, HM Saifullah saat mengikuti ritual nyelamaq, Rabu kemarin (4/7).

Baca Juga :  Jaga Terus Toleransi Antar Umat Beragama
Baca Juga :  Kolektor Pamerkan Keris Kuno di Museum NTB

Digelarnya ritual nyelamaq laut laut ini dengan harapan nelayan nasib nelayan bisa lebih baik. Artinya, manusia dan laut sebagai bagian dari alam kehidupan ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa bisa terus bersahabat dan saling menjaga. Sehingga kedua ciptaan Tuhan ini terus saling memberikan kontribusi. Sehingga ritual itu digelar sebagai wujud rasa syukur manusia terhadap kontribusi alam ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa. “Terlepas dari adanya pro kontra. Ini adalah budaya. Ada interaksi antara manusia dan lautan dan dalamnya ada gotong royong yang baik,” jelas Saifullah.

Komentar Anda
1
2
3