Mengintip Aktivitas Pemburu Lobster di Pantai Kuta Pujut

Hati Tak Tenang tapi Keuntungan Lebih Menjanjikan

Mengintip Aktivitas Pemburu Lobster di Pantai Kuta Pujut
MERAKIT: Amaq Suyar, salah seorang nelayan lobster di Pantai Kuta Kecamatan Pujut saat sedang merakit alat tangkapnya. (M Haeruddin/Radar Lombok)

KENDATI aktivitas penangkapan bibit lobster sudah jelas dilarang pemerintah pusat, ternyata tidak membuat para nelayan untuk berhenti melakukan aktivitas itu. Seperti para nelayan yang berada di pantai Kuta Kecamatan Pujut.


M Haeruddin-Praya


AMAQ Suyar, 55 tahun, warga Dusun Kuta II tampak santai meracik pocong, alat penangkap lobster ke jaring miliknya. Aktivitas itulah yang dilakukan dari pagi hingga sore hari. Sorenya, sekitar pukul 16.00 Wita, dia berangkat ke laut untuk melepas jaring yang digunakan untuk menangkap ikan.

Setelah melepas perangkap hewan dari benang penjalin transparan itu, Amaq Suyar kemudian akan pulang. Dia akan kembali pada pagi harinya untuk mengangkut jaringnya. Iya, itulah aktivitas pria yang satu ini.  Meski sudah jelas aturan atau larangan sudah ada untuk melestarikan spesies lobster yang hampir punah. Namun baginya, jika aturan itu tidak berlaku bagi para nelayan. “Mau bagaimana lagi, hanya ini pekerjaan yang tidak rumit dan penghasilanya banyak. Lewat bekerja inilah saya bisa membiyayai anak-anak saya sekolah,” tutur Amaq Suyar saat ditemui, Sabtu lalu (24/2).

Meski dirinya tau, larangan itu sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelarangan Penangkapan dan Perdagangan Lobster, Kepiting dan Rajungan. Namun, baginya tidak ada masalah karena yang seharusnya ditindak adalah para penyelundup. “Kalau nelayan kan tidak salah. Yang menyelundupkan ini yang harus ditindak,” cetusnya.

Ia sendiri sudah delapan bulan menggeluti aktivitas memburu lobster itu. Dalam semalam, kalau untuk pantai Selong Belanak bisa mendapatkan mencapai Rp 25 juta dalam sekali melaut. “Tapi kalau saya fokus di Kuta, di sini jumlahnya sedikit. Palingan semalam kita dapat dari dua sampai tiga juta,” bebernya.

Amaq Suyar dalam sehari melepas setidaknya enam jaring. Setiap jaring, setidaknya ratusan bibit lobster akan terperangkap dalam lubang pocong. Dalam satu lubang itu, biasanya lobster masuk hingga 20 ekor. Namun, tidak jarang juga lubang-lubang itu tidak terisi. “Tergantung nasib saja, makanya kalau saat ini semalam kita hanya dapat dua sampai tiga juta,” tegasnya.

Baca Juga :  Dari Lokasi Konferensi Internasional Dan Multaqa Alumni Al-Azhar IV di Mataram

Diakuinya, selain tidak rumit akan tetapi pembeli lobster juga sudah jelas. Setiap menjelang subuh ada bos yang sudah menunggunya. “Kita tinggal mengambil di laut dan sudah ada bos yang beli,” sebutnya tanpa menyebutkan nama pembeli tersebut.

Diakuinya, lobster yang paling mahal yakni lobster yang jenisnya mutiara. Hanya saja, lobster jenis itu sangat sulit didapatkan. Malah yang banyak saat ini adalah lobster jenis pasir. “Kalau jenis mutiara kita jual Rp 150 sebiji, tapi kalau jenis pasir murah,” ceritanya.

Diakuinya, setelah adanya larangan itu memang dirinya merasa terkadang was-was menangkap hewan air itu. Tetapi, karena dirinya hanya bisa bekerja di bidang itu, maka terpaksa harus tetap menggelutinya. “Kalau kita mancing sulit kita dapat ikan, jadi lebih baik kerja begini. Pekerjaan simpel dan mudah dapat uang,” tandasnya. (**)

Komentar Anda