Mengenal Tradisi “Betetulak” di Kelurahan Rembiga

Mengenal Tradisi Betetulak di Kelurahan Rembiga
LESTARI : Tradisi betetulak yang masih lestari di Kelurahan Rembiga. (IST/RADAR LOMBOK)

Betetulak adalah salah satu kearifan lokal yang masih bertahan di tengah kehidupan modern di Mataram. Seperti apa tradisi ini?


ZULFAHMI-MATARAM


Konon tradisi ini telah ada sejak masuknya Islam di Lombok yang dibawa oleh Sunan Prapen pada masa berjayanya kerajaan Selaparang. Pada waktu itu Sunan mendidik 6 santri, salah satunya Ratu Ambiyak yang kemudian bermukim di wilayah Kerekok atau nama dusun tua di Rembiga saat ini.

Rembiga berada di Kecamatan Selaparang, berbatasan dengan Gunungsari wilayah Kabupaten Lombok Barat. Geliat ekonomi Nampak di kelurahan ini. Rembiga kini dikenal sebagai pusat kuliner.

Nah, di tengah pengetahuan umum tersebut, tidak banyak yang tahu bahwa ada kegiatan ritual yang dilaksanakan warga setempat setiap malam satu suro atau setiap tanggal 1 bulan Muharram di tahun hijriah. Ritual tersebut bernama betetulak dan masih bertahan hingga saat ini.

Penjelasan disampaikan oleh Syahadatul Khair,  salah seorang pemuda Rembiga. Ia mempunyai komunitas, yang lewat komunitas ini tradisi dan kebudayaan dipertahankan. Betetulak akar katanya tulak yang artinya kembali. Maka betetulak artinya kembali ke asal.

Baca Juga :  Potensi Objek Wisata Pantai Kongok Menting, Batulayar

Tradisi betetulak dijelaskan secara rinci oleh Hera, sapaan akrabnya. Tradisi ini digelar dalam rangka memohon kepada Tuhan agar dijauhkan dari bala’. Ada beberapa alat ritual yang digunakan seperti bubur puteq (bubur putih dan bubur abang (bubur merah) yang mempunyai makna sebagai asal-usul manusia yang diawali dari perkawinan. Bubur putih adalah lambang bapak, sementara bubur merah adalah lambang ibu.

Dua jenis bubur ini dihidangkan pada hari pertama. Untuk hari kedua, hidangan yang digunakan adalah serabi bekerem, sebagai lambang dari adanya janin di dalam perut (kehamilan) akibat perkawinan. Kemudian untuk hari ketiga adalah ketupat yang berukuran besar dan kecil. “Ini mempunyai makna bahwa manusia harus menerima segala apapun pemberian Allah dengan rasa syukur,” paparnya.

Hidangkan untuk hari keempat adalah nasi yang lauk-pauknya tidak boleh hewan atau makhluk yang bernyawa (daging). Ini dimaknai sebagai bentuk pengembalian diri dan pembersihan hati dengan hidup secara apa adanya.

Baca Juga :  Sembalun Makin Ramai Pengunjung

Selain itu juga ada daun beringin yang melambangkan pengayoman masyarakat oleh pemimpinnya, baik itu tokoh adat, tokoh agama (toga) dan tokoh masyarakat (toma). Ada juga air rampe yang dipakai untuk mencuci muka oleh warga setempat. Lekesan siwa, sebagai simbol dari anggota tubuh yang mempunyai sembilan lubang, kemudian air mawot, yaitu air yang sudah didoakan selama beberapa malam. Dalam tradisi ini warga mengelilingi kampung tepat pukul 00.00 Wita.

Pada malam H, di sebuah berugak para tetua duduk melingkar, di tengahnya benda-benda sakral dihadirkan. Benda-benda tersebut adalah peninggalan leluhur yang selama ini disimpan di sebuah tempat khusus.” Setiap malam satu suro, malam kedua, ketiga dan keempat, benda-benda itu dikeluarkan dari tempat penyimpanan pusaka dan diarak keliling kampung,” ungkapnya.(*)

Komentar Anda