Mengenal Eri Sahabudin, Pemuda Desa Tempuh S2 University Of Tsukuba Jepang

Dari Jual Cilok, Sampai Kerja Cuci Piring

Eri Sahabudin
FOTO BERSAMA: Eri Sahabudin, foto bersama salah satu dosennya di University Of Tsukuba Jepang. (IST FOR RADAR LOMBOK)

Pendidikan merupakan hal utama untuk meraih kesuksesan. Seperti pepatah yang menyatakan, “Kejarlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”. Tampaknya pepatah ini yang menjadi pedoman dan diikuti oleh Eri Sahabuddin, pemuda desa asal Lombok yang menuntut ilmu hingga ke negeri Sakura Jepang.


DEVI HANDAYANI – MATARAM


PERJUANGAN Eri Sahabudin, warga Dusun Lebah Munten, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, dalam menempuh pendidikan hingga jenjang S2 keluar negeri, sungguh patut dijadikan inspirasi dan motivasi bagi anak-anak muda di NTB.

Bagaimana tidak, dengan segala keterbatasan biaya dan sarana yang dimiliki, Eri Sahabudin mampu membuktikan, bahwa hanya dengan modal kekuatan doa dari orang tua, ditambah kemauan dan niat, ternyata bisa menjadi jalan bagi seseorang untuk bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya.

Berkat kegigihan dan ketekunannya, Eri akhirnya mampu membanggakan kedua  orang tua, setelah berhasil meraih beasiswa dari Kementrian Keuangan dalam Program Beasiswa LPDB untuk jenjang pendidikan S2 di sebuah universitas di Jepang.

Kepada Radar Lombok, Eri yang merupakan anak bungsu dari 10 bersaudara ini menuturkan, kalau saat ini dia tengah melanjutkan studi di University Of Tsukuba Jepang, untuk meraih gelar Master (S2).

Awalnya pemuda berusia 25 tahun ini tidak pernah membayangkan, setelah lulus SMA dia bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Mengingat kedua orang tua Eri hanya buruh tani yang berpehasilan tidak menentu. “Jangankan untuk biaya sekolah, untuk kebutuhan sehari-hari saja keluarga kami masih kekurangan,” tutur Eri.

Karena itu, sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) Lebah Sempaga, Eri juga harus membantu orang tuanya berjualan es mambo, yang diambil dari tetangganya, untuk kemudian dijual kembali di sekolah.

Baca Juga :  Masuk TK Lagi di Usia 17 Tahun

Dari hasil berjualan es mambo itu, selain bisa digunakan untuk uang jajan, separuhnya juga ditabung untuk memenuhi kebutuhan sekolah. “Untuk kebutuhan sekolah saat SD, saya sudah jualan es mambo,” kenangnya.

Selain itu, ketika duduk di bangku SD, Eri juga tidak memiliki perlengkapan sekolah seperti teman lainnya. Seragam sekolah yang dipaki adalah seragam bekas kakaknya, sehingga bajunya kebesaran, celana bolong, dan hanya bersekolah menggunakan sandal jepit, karena tidak memiliki sepatu. “Seragam saya dulu sangat tidak layak, karena sudah sobek atau bolong dibelakang,” kenang Eri.

Namun semua kekurangan itu tidak menjadi penghalang baginya, untuk bermimpi bisa sekolah setinggi-tingginya. “Kehidupan yang serba kekurangan, membuat saya berfikir harus sekolah tinggi untuk dapat merubah nasib. Karena bagi saya, sekolah tinggi itu bukan cuma milik orang kaya saja,” ucapnya.

Setamat SD, Eri berharap dapat melanjutkan ke jenjang SMP, namun keinginannya itu kandas, dan dia terpaksa harus berhenti sekolah selama 1 tahun. Selama setahun itu, Eri bekerja sebagai penjual Bakso Cilok dan Tukang Cuci Piring. “Hasil dari jualan Cilok dan Tukang Cuci Piring itu saya tabung, dan uang terkumpul sebanyak Rp 500 ribu. Uang itu yang kemudian saya pakai untuk mendaftar masuk ke SMP,” lanjutnya.

Ketika SMP, Eri berhasil meraih juara Pinru Pramuka terbaik, dan mewakili Lombok Barat di LT IV Nusa Tenggara Barat. Tak hanya itu saja, dia juga menjadi bintang di kelasnya.

Banyaknya kegiatan yang diikuti di sekolah, membuat Eri harus menginap di rumah salah satu gurunya, Hj. Rukyatun Ulya. Apalagi jarak antara rumahnya dengan sekolah sekitar 3 kilometer. “Jarak dari rumah ke sekolah saya cukup jauh. Akhirnya saya numpang dirumah salah satu guru saya,” ungkapnya.

Baca Juga :  Mengenal Raden Ajeng Arie Sulistyawati, Guru Tari Berprestasi

Mimpinya tak berhenti sampai di SMP saja. Setelah tamat, Eri pun melanjutkan sekolahnya ke SMAN 1 Narmada, walaupun dengan surat keterangan tidak mampu. Sehingga dia bisa bebas biaya SPP dan uang bangunan. Di SMA, dia juga mengikuti beberapa kegiatan ekstrakurikuler, agar bisa lebih banyak belajar.

Lulus SMA tahun 2011, Eri kemudian ikut mendaftar penerimaan mahasiswa jalur undangan, yang pada  akhirnya diterima di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, dengan Program Ilmu Kelautan.

Saat awal kuliah, untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, Eri berjualan kopi pada malam hari. dan pada tahun 2015, Eri dinyatakan lulus sebagai Sarjana Kelautan (S.Kel), berhasil meraih predikat cumlaude dengan IPK 3,70. “Selama di Malang  saya sempat hidup tidak menentu, terutama di tahun pertama kuliah,” ujarnya.

Lulus kuliah, tahun 2015 itu juga dia mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi beasiswa LPDP dari Kementrian Keuangan. Ternyata untuk program tahun 2016 dia terpilih menjadi salah satu penerima beasiswa untuk menempuh  pendidikan program Magister (S2) ke University Of Tsukuba Jepang. “Saat ini saya sedang di Jepang menempuh S2 di University of Tsukuba,” ungkapnya.

Setelah lulus S2 nanti, Eri juga bercita-cita melanjutkan ke S3. Dia ingin membanggakan kedua orang tuanya, dan terpenting kisahnya ini dapat memotivasi anak-anak di Lombok, terutama yang tidak mampu, agar juga memiliki keinginan untuk bersekolah setingi-tingginya. “Saya mau raih gelar Phd, setelah itu baru saya balik mengabdi ke indonesia,” pungkasnya. (*)

Komentar Anda