Mengenal Baiq Ilda Karwayu, Salah Satu Penyair Muda NTB

Berkat Dukungan Ibu, Tampil di MIWF 2019

Baiq Ilda Karwayu
Baiq Ilda Karwayu (IST/RADAR LOMBOK)

Sastra tengah menggeliat di daerah ini. Banyak sastrawan muda bermunculan. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan dunia ini juga kian semarak. Baiq Ilda Karwayu adalah salah satu penyair muda asal Terong Tawah Lombok Barat yang layak diikuti perjalannya hidupnya.


AZWAR ZAMHURI-LOMBOK BARAT


Baru-baru ini seorang gadis manis mewakili NTB dalam ajang Makassar International Writers Festival (MIWF) 2019, perhelatan literasi terbesar se-Indonesia Timur yang digelar 26-29 Juni 2019 di Benteng Rotterdam Makssar.  Gadis ini  bersama puluhan penulis lain perwakilan daerah lain membagikan pengalaman dan cerita tentang karya mereka. 

Baiq Ilda Karwayu. Ia anak seorang tentara. Saat masih duduk di bangku SMP, ayahnya meninggal dunia. Ilda, sapaan akrabnya, harus menjalani hidup tanpa ayah. Dia punya dua adik. 

BACA JUGA: Mengenal Nana Nutrisari, Penyanyi Kecimol yang Lagi Naik Daun

Sejak ayahnya meninggal, Ilda semakin dekat dengan puisi. “Saya senang menulis puisi sejak SMP,” ceritanya saat ditemui Radar Lombok, Senin (1/6).

Ilda sangat serius menggeluti dunia puisi. “Saya semakin serius mendalami sastra sejak kuliah dan bergabung di Komunitas Akarpohon Mataram, sebuah komunitas sastra asuhan penyair Kiki Sulistyo,” ucap sarjana bahasa Inggris ini. 

Kini, sudah cukup lama Ilda menapaki dunia kepenyairan. Sebuah pilihan hidup yang tidak banyak orang menginginkannya. Berbagai suka dan duka, membuatnya semakin matang memilih jalan tersebut. “Jalan kepenyairan adalah jalan yang getir. Nggak ada harta melimpah yang tunggal hanya berasal dari puisi. Kecuali ia telah menjadi penyair besar, dan ini pun sangat sedikit jumlahnya di Indonesia,” ungkap dara yang sejak dulu bercita-cita jadi guru dan penulis ini. 

Meski jalan yang dipilihnya adalah kegetiran, Ilda bahagia menjalani semua itu. Apalagi cita-cita sebagai guru, tetap dilakoni dengan tidak melepas jiwanya yang lain dalam dunia kepenyairan. 

Menjadi seniman perempuan di daerah tidak semulus dibandingkan berkarir di Ibu Kota. Selama berkesenian, Ilda yang kini juga menjadi program manager di Komunitas Akarpohon Mataram banyak menghadapi penilaian-penilian negatif. Menjadi seorang penyair, terkesan seperti menjadi pengangguran. Tampak tidak jauh berbeda dengan perempuan “nakal” karena sering pulang malam. Jalan hidup kepenyairan, juga dinilai mendobrak norma di masyarakat. 

BACA JUGA: Inovasi Abdul Hadi, Olah Gula Aren Jadi Es Krim

Apalagi hingga saat ini Ilda belum menikah. Berbagai persepsi negatif harus diterima dan dijawab dengan karya. “Untungnya saya aktif dalam seni pertunjukan teater, itu untuk membalas seluruh stereotype dengan berbagai karya. Memang di keluarga, hanya saya yang menjadi penyair. Ibu saya IRT biasa, yang membebaskan anak-anaknya untuk memilih jalan hidup. Adik saya bekerja di bidang ekonomi, dan satunya lagi masih sekolah di salah satu Ponpes di Jawa,” terang Ilda.

Dukungan dari ibu sangat penting bagi Ilda. Itu pula yang membuatnya tetap nyaman menjadi seorang penyair. Apalagi seorang penyair dalam hidupnya jauh dari tujuan sekedar materi. “Saya tukang mikir. Jadi harus diurai isi pikiran ini, dan puisi adalah media yang tepat. Saya juga kadang-madang menulis esai dan cerpen juga,” ungkap alumni Universitas Mataram ini.

Karya Ilda sendiri sudah cukup banyak. Diantaranya beberapa antologi puisi. Karyanya diantaranya diterbitkan PBP (Penerbit Buku Perempuan) tahun 2018 lalu bertajuk “Elok”. Sementara puisi kolaborasi Ilda diantaranya, Antologi Puisi 100 Penyair Perempuan (KPPI 2013), “ISIS dan Musim-musim”. Kemudian Antologi Puisi 17 Penyair Indonesia Timur (PBP 2014), Antologi Puisi Penyair Perempuan NTB (Akarpohon 2015), “A Skyful of Rain” (Rainy Day’s festival 2018), “Bangkalan Dalam Sastra Indonesia (Bangkalan Literasy Festival, 2018) dan lain-lain. 

Mengikuti MIWF, bukan satu-satunya prestasi Ilda. Di tahun 2017, Ilda juga terpilih magang di The Japan Foundation Jakarta dalam program Magang Nusantara yang diampu oleh Yayasan Kelola.

Bagi Ilda, kedua kesempatan tersebut semakin memotivasi dirinya dalam berkarya dan berkesenian. Ilda mungkin akan selalu mengingat pengalamannya bertemu Avianti Armand salah seorang penulis favoritnya dalam MIWF. “Saya sangat mengagumi Avianti Armad. Dia mampu menggabungkan metode profesionalitas kerjanya sebagai seorang arsitek ke dalam proses kreatif menulisnya. Rapi sekali. Jadi kita bisa merasakan desain yang kokoh pada puisi dan cerpennya. Sekokoh bangunan yang dirancangnya dengan teliti,” katanya. 

Kekagumannya pada Avianti Armad bukan sekedar kebetulan. “Saya pengen bisa begitu. Saya seorang guru. Apa yang bisa saya lakukan dengan menjadi seorang guru untuk karya saya. If she can do that, why am I not?” ujar gadis yang kesehariannya mengajar bahasa Inggris dan BIPA di Mataram lingua Franca Institute (MaLFI) ini. 

BACA JUGA: Inovasi Rahmawati Mengubah Daun Kelor Menjadi Teh

Sementara itu, di The Japan Foundation Jakarta, untuk pertama kalinya Ilda berkesempatan ngekost. Hal yang tidak pernah dapat dirasakannya selama tinggal di Lombok. 

Dari pengalaman tersebut, Ilda banyak belajar kemandirian tinggal di seberang pulau. Ia juga berkesempatan melahap banyak kegiatan di Jakarta. “Kegiatan disana lebih beragam, tentu saja nggak akan saya alami di Lombok. Selain itu saya juga berkesempatan bertemu dengan orang-orang berbudi luhur yang banyak menginspirasi saya,” imbuhnya. 

Bersama Komunitas Akarpohon Mataram, kini Ilda terus berjuang agar sastra semakin berkembang di NTB. Berbagai kegiatan rutin digelar, di antaranya Tilikteks, yaitu menilik dan mendiskusikan sebuah teks sekaligus meresponnya dengan dengan musik atau pertunjukan setiap satu bulan sekali. 

Ada juga kegiatan Perayaan Buku, yaitu sebuah acara bedah buku penulis NTB maupun penulis Luar NTB. Kemudian Tukar Pikir, yang mendiskusikan topik non-sastra dengan menghadirkan seorang ahli sebagai pemantik diskusi. “Saya ingin katakan kepada kita semua, apa yang saya jalani sebagai guru, penyair, dan pegiat teater, semuanya adalah pengalaman berharga. Saya nggak mengategorikannya sebagai suka ataupun duka,” tutupnya.(*)

Komentar Anda