Menengok Prosesi Praja Sunatan di Desa Batujai

Harus Dilakukan Sebagai Bukti Sayang Orang Tua Kepada Anak

Menengok Prosesi Praja Sunatan di Desa Batujai
DIARAK: Inilah salah satu adat dan budaya yang ada di Desa Batujai yang menggunakan praja saat anak laki-laki akan disunat, kemarin. (M Haeruddin/Radar Lombok)

Tradisi praja atau melakukan arak-arakan kepada anak yang akan dikhitan atau disunat di Dusun Mengkilok Desa Batujai Kecamatan Praya Barat Daya sampai saat ini masih terus dilestarikan. Bagi warga setempat, hal itu menjadi kewajiban orang tua jika mau melakukan khitanan kepada anak lelakinya.


M Haeruddin – Praya


TABUH suara gendang mengiringi jaran kamput atau yang akrab dikenal warga Sasak sebagai jaran mati, terus dilantunkan. Di atas jaran yang diangkat oleh empat orang tersebut, terdapat anak-anak yang akan dikhitan. Oleh masyarakat Desa Batujai menganggap hal itu harus dilakukan jika ada khitanan.

Kegiatan dilakukan selama dua hari. Hari pertama sebelum dikhitan maka anak tersebut harus d arak keliling kampung, hal itu agar masyarakat tahu jika sang anak nantinya akan dikhitan. Pada hari khitanan juga, anak tersebut sebelumnya kembali diarak untuk menghibur sang anak agar tidak menangis saat disunat.

BACA JUGA: Melihat Ritual “Rowah Segare” Masyarakat Desa Kuta

Selain menjadi keharusan masyarakat dalam setiap kegiatan nyunatang atau khitanan, namun hal itu juga sebagai bukti kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Maka sampai dengan saat ini tidak ada satupun warga terutma yang berada di Dusun Mengkilok yang tidak menggunakan praja saat sunatan. “Ini sebagai bentuk kasih sayang orang tua terhadap anaknya,” ungkap salah seoang tokoh adat setempat, Rusdi saat ditemui Radar Lombok, Senin kemarin (14/1).

Dikauinya memang secara tulisan tidak ada larangan untuk tidak menggunakan praja atau jaran mati itu saat melakukan sunatan. Hanya saja, karena itu kebiasaan yang sudah turun temurun yang dilakukan masyarakat dari peninggalan nenek moyang mereka. Maka masyarakat sepakat untuk tetap mempertahankanya. “Jadi itu pembuktian orang tua dalam menyayangi anaknya, maka kita terus berupaya untuk melestasikanya dan memang sebagian masyarakat mewajibkan hal ini dan dilakukan selama sehari semalam untuk diarak keliling kampung agar masyarakat tau kabar itu,” tegasnya.

Diakuinya, saat dilakukan dilakukan arak-arakan anak yang akan disunat itu. Masyarakat yang lain juga ikut mengiringi arak- arakan itu dengan membawa berbagai macam makanan khas sasak yang nantinya akan diberikan kepada para tamu yang akan begawe. “Ini juga sebagai ajang hiburan bagi masyarakat setempat jika ada yang sunatan,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Desa Batujai, Alwan Wijaya menyampaikan bahwa saat ini dari desa sendiri terus mempertahankan bagaimana kearifan budaya lokal di tengah arus moderniasai yang semakin tinggi. Selain memiliki makna yang penting di setiap budaya yang ada. Di satu sisi hal itu juga sebagai upaya untuk menggat minat para wisatawan untuk datang ke desa itu. “Termasuk praja saat sunatan ini memang selalu digunakan di tengah masyarakat. Dan ini salah satu daya tarik bagi para wisatawan,” tambahnya.

BACA JUGA: Menyaksikan Ritual Nyelamaq Laut Warga Desa Tanjung Luar

Baginya para generasi muda yang ada di tempat tersebut, saat ini bahkan memampaatkan budaya yang ada untuk memperkenalkan desa mereka. Tidak seperti dibanyak tempat yang banyak pemudanya yang mulai meninggalkan adat dan budaya mereka. “Kalau praja ini memang keharusan masyarakat, karena orang tua yang mau khitan anaknya pasti menyewakan alat praja saking sayangnya mereka,” tambahnya. (**)

Komentar Anda