Ada banyak bangunan peninggalan penjajah Belanda di Lombok Barat. Salah satunya adalah jembatan gantung di Gerung. Meski telah berumur lama, jembatan ini masih kokoh. Jika sore hari, jembatan ini ramai jadi tempat nongkrong anak-anak muda.
Hery Mahardika – Giri Menang
Jembatan ini membentang di sungai Gerung yang menghubungkan Dusun Kelebut Desa Kebun Ayu Kecamatan Gerung dengan Dusun Nyurlembang Desa Jembatan Gantung Kecamatan Lembar.
Di momen peringatan Hari Kemerdekaan RI ini, ada baiknya warga mengetahui jejak-jejak peninggalan penjajah di sekitar mereka.
Dari dokumen yang ada, jembatan gantung ini sudah ada sejak tahun 1932. Jembatan ini punya panjang 116 meter dan lebar 4 meter. Jembatan terbuat dari besi kokoh. Meski umurnya sudah 84 tahun, jembatan ini tetap kokoh. “ Ini dibangun sejak zaman penjajahan Belanda,” ungkap H. Syarafudin (91). Ia menegaskan dirinya menjadi saksi pembangunan jembatan ini saat koran ini berkunjung ke kediamannya di Desa Jembatan Gantung belum lama ini.
Ia menceritakan, waktu itu tentara Belanda membawa tenaga ahli dari Jawa untuk membangun jembatan ini. Tenaga lokal yang terpilih hanya beberapa orang saja. Selebihnya bertugas mengumpulkan material seperti batu, pasir, besi dan lain-lain.
Sebelum rangka jembatan, yang dibangun terlebih dahulu adalah pondasi jembatan baik di sisi kiri dan kanan sungai. Setelah kering, barulah pekerja menggarap rangka jembatan.
H. Syarafudin ingat besi yang dipakai membangun jembatan ini didatangkan dari Australia. Warga ditugaskan membantu para pekerja inti. Jembatan ini dikerjakan selama sekitar 2 tahun.
Dulu jembatan ini menjadi sarana utama sebelum ada jalan memadai yang menghubungkan wilayah-wilayah terpencil seperti Penarukan, Gunung Malang, Peseng dan lain-lain. Untuk keperluan irigasi pertanian, jembatan ini juga didesain sebagai penyalur air. Di bagian bawah badan jembatan terdapat saluran air yang merupakan satu kesatuan.“ Inilah saluran air yang dibuat pertama kali disini,” ungkapnya.
Beberapa tahun setelah selesai dibangun, jembatan ini tercatat dua kali dihantam arus sungai Dodokan sehingga sempat rusak. Jembatan tidak berfungsi, saluran air di bawahnya juga tidak bisa mengairi sawah petani. Akhirnya jembatan ini diperbaiki.
Syarafudin mengaku saat jembatan dibangun umurnya baru 7 tahun. Seingatnya, warga dipaksa bekerja siang dan malam agar jembatan ini cepat jadi. Kerja paksa ini bahkan menimbulkan korban jiwa.
Kini jembatan menjadi salah satu peninggalan kolonial. Saat ini jembatan hanya bisa dilewati oleh sepeda motor. Itupun pengendara harus berhati-hati. Pad sore hari, jembatan ini menjadi tempat nongkrong anak-anak muda dari desa sekitar.
Syarafuddin menceritakan, yang paling tidak menyakitkan adalah saat Jepang berkuasa. Seringkali tentara Jepang menguras isi rumah warga.” Termasuk perempuan cantik diambil juga,” ungkapnya.(*)