Membangkitkan Semangat dan Simpati di Tengah Krisis

Dr Zulkieflimansyah(ISTIMEWA/RADAR LOMBOK)
Dr Zulkieflimansyah(ISTIMEWA/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Konsumsi media di era Covid-19 otomatis meningkat bagi masyarakat. Terutama ketika mereka berada di rumah saja. Kegiatan membaca terutama mencari informasi terkait Covid-19 menjadi konsumsi utama.

Namun, yang paling utama dilakukan untuk mengimbangi berbagai informasi yang ada adalah harus ada advertising atau iklan yang membangkitkan semangat dan simpati di tengah krisis. “Terutama di tengah krisis seperti ini. Kita harus bisa membedakan mana advertising, mana public relation, sampai promosi,” ungkap Gubernur NTB, Dr. Zulkieflimansyah saat Virtual Jakarta Chief Marketing Officer (CMO) Club : Advertising During Crisis via Zoom kemarin.

Iklan positif yang mengandung unsur spirit dan simpati dapat menjadi pilihan masyarakat untuk berpikir positif. Apalagi di tengah musibah seperti ini, tentu informasi penyeimbang sangat diperlukan untuk memacu optimisme hidup.

Lalu seperti apa sebenarnya kondisi masyarakat di saat krisis global ini? Direktur Advertising Asia Tenggara The New York Times, Reno Ong melihat ada beberapa mindset yang tercipta di masa Covid-19. “Rasa takut akan pandemi menjadi driver utama. Itu sah-sah saja. Ketakutan itu kemudian mendorong orang untuk mencari informasi lebih dalam setiap waktu. Apa yang sedang terjadi saat ini,” ungkap Reno dalam acara itu.

Yang diutarakan Reno merupakan hasil riset kepada pembaca The New York Times di seluruh dunia selama pandemi, mulai dari kawasan Amerika, Eropa, sampai Asia Pasifik. Di mana pola pikir itu kemudian mendorong orang untuk memiliki jiwa akan bertahan hidup lebih dari biasanya.

Menurutnya, salah satu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mereka melewati semua ini. Pasalnya krisis tidak hanya memberikan dampak besar kepada kondisi keuangan, tetapi juga secara sosial. Namun mau tidak mau kemudian orang harus menerima kenyataan dan mencari distraksi atau kegiatan lain. “Kita semua sebenarnya ingin break dari yang sedang terjadi. Tertahan di rumah dan mencari jalan keluar. Ada yang kemudian menjadi frustasi. Namun ada yang melihatnya dari sisi positif. Ada harapan jika ini akan segera berakhir dan pandemi adalah waktu untuk mendekatkan diri dengan keluarga,” sambungnya.

Kondisi emosi ini yang kemudian bisa diaplikasikan brand atau perusahaan jika ingin lebih dekat kepada konsumen. Brand pemasang iklan bisa memanfaatkannya dengan memasang advertising atau iklan yang sesuai dengan kondisi. Harapannya brand pemasang iklan dapat memberi semangat dan memberikan simpati di tengah krisis kepada masyarakat. Menurut Reno, merasakan apa yang dirasakan oleh publik penting agar brand dapat engage dengan konsumen mereka. Jangan justru membombardir dengan promo serta jualan tidak relevan. 

Berdasarkan riset tersebut, sekitar 77 persen pembaca The New York Times justru ingin melihat apa yang ditawarkan oleh brand. “Dan 66 persen dari mereka ingin melihat perubahan kebijakan apa yang dilakukan brand. Lalu 56 persen berharap brand menambah kebijakan protokol kesehatan kepada produk atau layanannya. Bahkan 51 persen berharap brand menunjukan rencana untuk membuka gerai atau layanan mereka kembali,” tutupnya. (sal/adv)

Komentar Anda