Mataram Masuk Daftar 10 Kota dengan Skor Toleransi Terendah di Indonesia

Monumen Mataram Metro di Kota Mataram. (ALI MA'SUM/RADAR LOMBOK)

MATARAM–SETARA Institute menempatkan Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat ke dalam daftar 10 kota di Indonesia dengan skor toleransi terendah berdasarkan Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) Tahun 2022.

Mataram mendapatkan skor terendah bersama sembilan kota lainnya yakni Prabumulih, Lhokseumawe, Pariaman, Medan, Banda Aceh, Sabang, Padang, Depok, dan Cilegon.

Hasil scoring Indeks Kota Toleran 2022 untuk 10 (sepuluh) kota skor toleransi terrendah

 

Kemudian 10 kota dengan skor toleransi tertinggi yakni Singkawang, Salatiga, Bekasi, Surakarta, Kediri, Sukabumi,  Semarang, Manado, Kupang, dan Magelang.

Hasil scoring Indeks Kota Toleran 2022 untuk 10 (sepuluh) kota skor toleransi tertinggi

SETARA Institute dalam rilis resminya menjelaskan, Laporan IKT 2022 merupakan hasil pengukuran yang dilakukan SETARA Institute untuk mempromosikan praktik-praktik toleransi terbaik kota-kota di Indonesia. Indeks Kota Toleran 2022 merupakan laporan keenam SETARA Institute sejak pertama kali diterbitkan pada 2015.

IKT ditujukan untuk memberikan baseline dan status kinerja pemerintah kota dalam mengelola kerukunan, toleransi, wawasan kebangsaan dan inklusi sosial. Baseline ini akan menjadi pengetahuan bagi masyarakat, pemerintah dan berbagai pihak yang ingin mengetahui kondisi toleransi di 94 kota di Indonesia.

Studi ini ditujukan untuk mempromosikan pembangunan dan pembinaan ruang-ruang toleransi di kota yang dilakukan oleh pemerintah kota setempat dan/atau didukung serta berkolaborasi bersama elemen masyarakat secara umum.

Objek kajian IKT adalah 94 kota dari total 98 kota di seluruh Indonesia. 4 kota yang dieliminir merupakan kota-kota administrasi di DKI Jakarta yang digabungkan menjadi 1 DKI Jakarta.

Studi ini menetapkan 4 variabel dengan 8 indikator sebagai alat ukur, yaitu:

Regulasi Pemerintah Kota

Indikator 1: Rencana pembangunan dalam bentuk RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya.

Indikator 2: Ada tidaknya kebijakan diskriminatif.

Regulasi Sosial

Indikator 3: Peristiwa intoleransi.

Indikator 4: Dinamika masyarakat sipil terkait isu toleransi.

Tindakan Pemerintah

Indikator 5: Pernyataan pejabat kunci tentang isu toleransi.

Indikator 6: Tindakan nyata terkait isu toleransi.

Demografi Sosio-Keagamaan

Indikator 7: Heterogenitas keagamaan penduduk.

Indikator 8: Inklusi sosial keagamaan.

Kombinasi pembobotan tersebut menghasilkan persentase akhir  pengukuran  sebagai berikut:

  1. Rencana Pembangunan (10%)
  2. Kebijakan Diskriminatif (20%)
  3. Peristiwa Intoleransi (20%)
  4. Dinamika Masyarakat Sipil (10%)
  5. Pernyataan Publik Pemerintah Kota (10%)
  6. Tindakan Nyata Pemerintah Kota (15%)
  7. Heterogenitas agama (5%), dan
  8. Inklusi sosial keagamaan (10%).

Scoring dalam studi ini menggunakan skala hipotesis positif dengan rentang nilai 1-7, yang menggambarkan rentang gradatif dari kualitas buruk ke baik. Artinya, 1 merupakan score untuk situasi paling buruk pada masing-masing indikator, sedangkan 7 adalah score untuk situasi paling baik pada masing-masing indikator untuk mewujudkan kota toleran.

Selain itu, untuk menjamin validitas data hasil scoring, studi ini melakukan tiga teknik sekaligus; (1) triangulasi sumber, (2) hasil self-assessment pemerintah-pemerintah kota melalui kuesioner yang disebarkan, dan (3) Experts meeting series atau pertemuan serial para ahli untuk mengkonfirmasi data sementara hasil score. (RL)

Komentar Anda