Tradisi bekayat masih dilestarikan oleh masyarakat Sasak. Saat ada kegiatan begawe, pembaca hikayat diundang untuk berkisah. Pemerintah Daerah tidak bisa berpangku tangan menunggu peninggalan leluhur ini hilang.
___________________________
Rasinah Abdul Igit – Giri Menang
___________________________
Tembang indah nan khas itu bercerita tentang banyak hal, tentang sukacita hingga catatan kematian. Masyarakat Islam Sasak telah mengenal tradisi bekayat ( membaca hikayat) sejak kerajaan Hindu-Budha berkuasa. Hingga kinipun tradisi ini masih lestari.
Masyarakat Lombok yang mayoritas muslim lebih mengenal tradisi membaca hikayat dengan istilah memace atau bekayat yang secara bahasa berarti membaca dan berkisah. Bekayat adalah tradisi membaca kitab-kitab kuno berbahasa sanskerta diatas daun lontar pada acara-acara tertentu seperti perayaan maulid nabi, tradisi sunatan, ngurisan, perkawinan hingga kematian. Kitab-kitab kuno tersebut dibaca oleh seorang pembaca dengan alunan nada yang khas, dan diterjemahkan olah seorang lainnya. Isi kitab biasanya bercerita tentang perjalanan spiritual nabi, perisitiwa masuknya Islam di Lombok, termasuk pula pesan-pesan kehidupan tentang bagaimana seharusnya manusia hidup bersama manusia lainnya. Bekayat dilakukan sejak malam hingga pagi hari. “ Tradisi ini sudah ada sejak kerajaan Hindu berkuasa. Dulu tradisi ini dilakukan sebagai media mengajak orang masuk Islam. Teknik membacanya sangat dipengaruhi oleh unsur Hindu,” ungkap Amaq Mastur (54), pembaca asal Dusun Peroa Desa Kebun Ayu Kecamatan Gerung saat ditemui belum lama ini.
Beberapa kitab yang biasanya dibaca adalah Hikayat Nur, Yatim Mustafa dan Badaruzzaman untuk acara ngurisan (potong rambut bayi), Maulidan sunatan dan perkawinan. Kitab Kifayatul Muhtaj dibaca saat peringatan Isra’ Mi’raj ( naiknya Nabi Muhammad ke langit untuk menerima perintah salat). Ada pula kitab Qurtubi Kasyful Gaibiyyah yang isinya berbicara tentang hakikat kematian serta bagaimana manusia seharusnya mati. Kitab yang paling populer adalah Jati Swara karangan seorang wali bernama Syeikh Abdussamad yang bercerita tentang proses berkembangnya Islam di nusantara.
Seorang pembaca hikayat dituntut menguasai teknik nembang sebagai ciri khas tradisi ini. Ada beberapa istilah nada khas yang dipilih diantaranya dangdang (nada khas asal Jawa), Sinom (Bali), Pangkur, Budaya dan Kumambang (Lombok). Untuk menjamin suara bisa stabil hingga semalam suntuk, pembaca mengamalkan jampi-jampian. Sebagai bagian dari tradisi dan adat budaya, bekayat juga mengharuskan adanya kemalik (ikat pinggang berbahan benang), beras kuning, air bunga, benang warna hitam dan putih yang ditaruh diatas wadah yang dinamakan rereke. Di atas mereka membaca terdapat kain hitam yang dibentangkan diantara kain putih. Maknanya, sebersih dan sesuci apapun manusia, pasti ada noda dan kesalahan dalam diri mereka yang harus dibersihkan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebagian dari prasyarat itu kini tidak dipakai lagi. Dulu, pembaca biasanya disuguhkan Miras tradisional. Sekali lagi ini adalah faktor sejarah. Banyak dari unsur-unsur Hindu terpaksa dipakai agar inti ajaran bekayat lebih bisa diterima oleh masyarakat pada zaman itu.
Bekayat hingga kini masih tetap lestari. Bekayat tetap ada karena peran pembacanya. Dalam satu kampung bisa terdapat empat hingga lima pembaca yang masih aktif. Mereka terdorong oleh niat melestarikan tradisi leluhur meski tidak mendapat imbalan material yang cukup.
Amaq Mastur (54) misalnya, laki-laki petani ini menjadi pembaca hikayat sejak masih muda. Kemahirannya didapat dari seorang guru bernama Amaq Dimah.
Dalam satu bulan, Amaq Mastur diundang membaca di tiga hingga lima tempat. Ia bersama penerjemah setianya, Sarafuddin. Pada bulan maulid dan peringatan Isra’ Mi’raj, jadwalnya bisa hampir setiap malam. “ Saya membaca sampai ke kampung-kampung tengah hutan. Saya ikhlas menjalaninya. Kalau bukan kita yang melestarikannya, siapa lagi,” ungkapnya.
Amaq Mastur menitip pesan kepada generasi muda untuk tetap melestarikan tradisi-tradisi semacam ini. Bekayat adalah satu dari sekian budaya tutur yang masih ada.
Kepala Dinas Pariwisata Lombok Barat Ispan Junaidi menyatakan, bekayat adalah satu dari sekian seni budaya yang terus diperhatikan. Di Lombok Barat katanya, ada Gedung Budaya yang berlokasi di Kecamatan Narmada. “ Kita akan coba nanti, bekayat kita mainkan secara berkala di Gedung Budaya,” ungkap Ispan saat dihubungi terpisah.(*)