Masih Ada Siswa SD Belajar di Gubuk

SEKOLAH GUBUK: Demi mendapatkan ilmu, para siswa SD Islam Malabari terpaksa harus belajar di gubuk, berugak, bahkan di bawah-bawah pohon karena keterbatasan RKB (IRWAN/RADAR LOMBOK)

SELONG—Para siswa SD Islam Malabari di Repoq Toyang, Dusun Setapuk, Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur (Lotim), kondisinya sungguh sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak, demi mendapatkan ilmu, mereka terpaksa harus bersekolah di gubuk pinggiran pantai paling selatan Lotim, karena ketiadaan ruang kelas.

Kepala SD Islam Malabari, Lalu Ahmad Jayadi, menjelaskan sekolah yang dipimpinnya ini dibangun pertama kali pada tahun 2010, atas dasar keprihatinan masyarakat terhadap anak-anak usia belajar di desa itu yang belum bersekolah. “Banyak anak-anak usia belajar yang tidak bisa sekolah, karena jauhnya lokasi sekolah. Sehingga kemudian ada masyatrakat yang membantu,” ungkapnya, Kamis (24/11).

Diakui, bangunan SD Islam Malabari sendiri hanya ada 1 lokal. Namun dengan meningkatnya jumlah siswa yang sekolah, pihak sekolah akhirnya terpaksa memanfaatkan fasilitas seadanya, seperti Berugak, gubuk-gubuk, maupun tempat-tempat rindang di bawah pohon sekitar sekolah.

Siswa SD Islam Malabari saat ini berjumlah sebanyak 69 siswa. Dengan hanya 1 lokal ruang kelas belajar (RKB) yang dimiliki, maka siswa yang tidak tertampung di kelas terpaksa belajar di luar kelas. “Jumlah RKB hanya 1 lokal, yang dibagi menjadi tiga ruang. Masing-masing ruang kita isi kelas 1, 2 dan 3. Sedangkan untuk siswa kelas 4, 5 dan 6, terpaksa belajar di Berugak, Gubuk, atau di bawah pohon,” jelasnya pilu.

Selain sarana dan prasarana RKB yang tidak mendukung, ternyata sekolah ini juga belum dialiri listrik. Tak hanya itu, para guru juga merasa kewalahan mencapai lokasi sekolah, karena jalannya masih sangat jelek. Sehingga para guru yang datang mengajar sering kali mengalami bocor ban motor.

“Apalagi kalau musim hujan, kita harus belajar dengan menggunakan terpal. Termasuk para guru tidak bisa masuk sekolah kerena jalanan becek dan berlumpur. Tapi mau bagaimana lagi, kita kasian sama anak-anak,” ujarnya.

Salah satu guru honorer, Sopyan Hadi mengakui, demi mengajar anak-anak sekolah, dia harus rela menjadi tukang parkir di emperan toko sepulang mengajar. Itu dilakukan, karena harga bensin relatif mahal, apalagi dengan jarak tempuh dari rumahnya ke sekolah yang jauh. Sedangkan honor yang didapatkan dari mengajar hanya sekedar saja. “Mau tidak mau kita harus tetap kerja keras, demi keberlangsungan SD Islam Malabari,” tekadnya.

Sementara Kanit Dikpora Jerowaru, Lalu Mustofa Bakri, ketika dikonfirmasi mengatakan kalau SD Islam Malabari merupakan sekolah dengan sistem pembangunan yang dipaksakan. Meski  bernaung dibawah Dikpora, namun pihak yayasan tidak memiliki modal awal dalam pembangunan.

“Hal-hal seperti ini yang sebenarnya  kita sayangkan. Namun karena bergerak dalam bidang pendidikan, maka kita juga sudah mengajukan (bantuan) ke dinas. Dan mungkin tahun depan sekolah ini akan mendapat bantuan pembangunan 2 RKB,” singkatnya. (cr-wan)

Komentar Anda