Mantan Napi Dilarang Ikut Pilkada

Ilustrasi pilkada 2018
Ilustrasi pilkada 2018

MATARAM – Mantan narapidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak tidak diperkenankan menjadi peserta dalam kontestasi pilkada. itu diatur dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 10 tahun 2016 pasal 7 ayat 2.

“Kategori mantan narapidana tidak diperbolehkan maju di pilkada,” kata Ketua KPU NTB, Lalu Aksar Anshori, kepada Radar Lombok, Rabu kemarin (1/11).

Baca Juga :  Zul-Rohmi Menang, Suhaili-Amin Juga Klaim Menang, Ahyar-Mori Tak Terima

Ia menyampaikan, ada larangan-larangan bagi calon gubernur dan wakil gubernur. Diantaranya, calon dilarang seorang mantan terpidana, bandar narkoba atau mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak. 

Namun, mantan napi dengab kategori lain diperbolehkan menjadi kontestan di Pilkada. Misalnya, narapidana politik dan kejahatan ringan.

Namun demikian, mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa hukumanya secara kumulatif wajib memenuhi syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang. Kecuali bagi mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pidananya paling singkat lima tahun sebelum jadwal pendaftaran.

“Status dirinya sebagai mantan narapidana wajib disampaikan dan diumumkan secara terbuka kepada publik,” terangnya.

Ia pun menambahkan, persyaratan pasangan cagub/cawagub melalui dukungan parpol, masa pendafataran Paslon. Berikutnya, partai politik wajib memenuhi persyaratan SK pimpinan Parpol terkait persetujuan paslon dan dokumen syarat calon.

Lalu, SK pengurus Parpol pusat mengenai pengambilalihan wewenang parpol provinsi/ kabupaten kota dalam pendaftaran pasangan   calon. Ini berlaku bagi paslon yang pendaftarannya dilakukan oleh pengurus partai politik tingkat pusat.

Kemudian syarat lainnya, beber Aksor, adalah parpol wajib menyampaikan SK pimpinan parpol pusat tentang kepengurusan  parpol provinsi, kabupaten kota. Surat  pernyataan   kesepakatan antar partai politik yang  bergabung  untuk mengusulkan pasangan calon dan surat pernyataan kesepakatan parpol dan paslon untuk mengikuti proses pemilihan.

“Jadi ada syarat calon sifatnya individual, dan syarat pencalonan sifatnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh parpol pengusung,” jelas mantan ketua GP Ansor NTB tersebut.

Adapun bagi pasangan cagub cawagub melalui jalur independen ada tiga tahap dukungan. Yakni, pertama, KPU  akan menghitung jumlah minimal dan sebaran dukungan, tentu harus sesuai jumlah yang dibuat per desa dan kelurahan, baik kolektif maupun orang-perorangan dengan lampirannya serta urutannya. 

Selain itu, hardcopy harus dibuat tiga rangkap dan juga softcopynya harus sesuai juga. “Kalau sudah sesuai seluruhnya baik hardcopy maupun softcopynya, serta jumlah dukungan minimal dan sebarannya, barulah KPI akan memberikan tanda terima. Namun itu baru untuk jumlah dukungan minimal dan sebaran saja,” ujar Aksar.

Kemudian di tahap kedua, verifikasi administrasi. Pada fase ini akan lebih detail. KPU akan mengecek apakah nama, NIK, tempat tanggal lahir, NKK dan kolom-kolom lainnya sesuai dengan lampiran fotocopy KTP eletronik atau tidak. 

Disini akan ketahuan, apakah data yang diserahkan hanya untuk mencukupi jumlahnya saja. Padahal didalamnya dilakukan manipulasi penyajian data. Hal itu akan diketahui pada tahap verifkasi administrasi tanggal 22 November sampai dengan 5 Desember 2017. 

Lalu di tahap ketiga barulah  KPU NTB akan melihat juga potensi kegandaan. Dari hasil-hasil verifikasi administrasi dan analisis kegandaan ini akan dikirim ke PPS untuk dilakukan verifikasi faktual pada tanggal 12 Desember sampai dengan 25 Desember 2017. 

Baca Juga :  DPP Demokrat Tidak Restui Paket Dr Zul-Sitti Rohmi?

“Jadi semua ini masih bicara penyerahan dukungan semua. Kalau terjadi kekurangan, masih ada masa perbaikan. Jangan dikira setelah diterima dianggap otomatis sebagai calon, tidak,” pungkas Aksar. (yan)

Komentar Anda