Mantan Direktur RSUD KLU tidak Ajukan Kasasi

SIDANG: Para terdakwa korupsi pengadaan ruang operasi dan ICU RSUD KLU saat menghadiri sidang di PN Tipikor Mataram, beberapa waktu lalu. (DOK/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Dua terdakwa korupsi pengadaan ruang operasi dan ICU pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Lombok Utara (KLU) tahun anggaran 2019, menolak mengajukan upaya hukum lanjutan atas putusan majelis hakim banding Pengadilan Tinggi (PT) Mataram.

Kedua terdakwa itu ialah mantan Direktur RSUD KLU dr Syamsul Hidayat selaku Kuasa Pengguna Anggara (KPA) dan Darsito selaku rekanan pada proyek tersebut. Hal itu disampaikan oleh penasihat hukum kedua terdakwa, Hijrat Priyatno saat dikonfirmasi. “Kedua terdakwa tidak melakukan upaya hukum kasasi,” kata Hijrat, Selasa (24/1).

Alasan kedua kliennya tidak mengajukan upaya hukum lanjutan, tidak dijelaskan secara rinci. “Kami selaku penasihat hukum, hanya mengikuti kemauan klien saja,” ucapnya.

Dengan demikian, kedua terdakwa akan menjalani hukuman sesuai dengan putusan majelis hakim PN Tipikor Mataram, yang dikuatkan kembali oleh majelis hakim PT Mataram. Untuk terdakwa E Bakri, dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 300 juta subsider 3 bulan.

Terhadap terdakwa Darsito, majelis hakim banding yang diketuai I Gede Mayun, beranggotakan Bambang Sasmito dan Mahsan turut menguatkan putusan PN Tipikor Mataram. Dengan kata lain, saat ini terdakwa tetap dijatuhi vonis penjara selama 7 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan.

Baca Juga :  Dua Tersangka Korupsi Alkes Poltekkes Belum Ditahan

Selain itu, pada putusan PN Tipikor Mataram juga menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Ro 1,7 miliar. Apabila tidak mampu untuk membayar, maka diganti kurungan badan selama 2 tahun.

Sedangkan terdakwa E Bakri selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), melalui penasihat hukumnya Fandi Sanjaya mengatakan,  hingga saat ini belum menyatakan sikap terkait akan menempuh upaya hukum lanjutan atau tidak. “Kami masih nunggu konfirmasi dari klien terkait kasasi apa tidaknya,” jawab Fandi dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp.

Untuk terdakwa E Bakri, majelis hakim PT Mataram yang diketuai Miniardi dengan beranggotakan Bambang Sasmito dan Rodjai S. Irawan, menguatkan putusan PN Tipikor Mataram, yang sebelumnya divonis  penjara selama 5 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan.

Sementara untuk terdakwa Sulaksono Darmaputra, selaku konsultan pengawas proyek memilih untuk mengajukan upaya hukum kasasi pada Mahkamah Agung (MA). Permohonan kasasi ini sudah dicantumkan di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Mataram.

Hal itu pun dibenarkan oleh Humas PN Mataram Kelik Trimargo. Dikatakan, pernyataan sikap terdakwa Sulaksono melalui penasihat hukumnya untuk menempuh upaya hukum lanjutan sudah diterima. “Sudah, terdakwa sudah menyatakan sikap,” ujarnya.

Sejauh ini, pihaknya hanya menerima permohonan pernyataan sikap saja. Untuk memori kasasi dari terdakwa, belum diterima. “Belum, karena baru diberitahu putusan bandingnya,” katanya.

Baca Juga :  Usut Dugaan Korupsi Dana Hibah Rp 15,5 Miliar KONI Mataram, Jaksa Panggil Pengurus 10 Cabor

Terhadap terdakwa Sulaksono, majelis hakim PT Mataram dalam putusannya menguatkan permohonan PN Tipikor Mataram yang menjatuhinya vonis penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 300 juta subsider 3 bulan. Putusan PN Tipikor Mataram ini juga telah dikuatkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Mataram dalam sidang banding.

Diketahui, perkara yang ditangani pihak Kejati NTB ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTB. Muncul catatan kekurangan pekerjaan proyek dengan nilai kerugian Rp212 juta.

Kerugian itu muncul dalam status pekerjaan yang sudah diserahterimakan atau Provisional Hand Over (PHO) berdasarkan berita acara Nomor: 61 PPK-Konstruksi/RSUD.KLU/II/2020, tertanggal 24 Februari 2020, dari pihak pelaksana proyek kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.

Pihak kejaksaan pun menindaklanjuti temuan BPK tersebut ke tahap penyelidikan. Sampai pada proses penyidikan, pihak kejaksaan memperoleh hasil audit inspektorat dengan nilai kerugian negara sedikitnya Rp1,57 miliar.

Proyek tahun 2019 ini dikerjakan oleh PT Apro Megatama yang berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan. Pengerjaan proyek tersebut menelan dana APBD Kabupaten Lombok Utara dengan nilai Rp6,4 miliar. (cr-sid)

Komentar Anda