Mantan Bupati dan Penjabat Diperiksa Kejaksaan

MATARAM-Kejaksaan Tinggi NTB terus bergerak cepat menyelidiki dugaan penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) Kabupaten Lombok Utara (KLU) 2015 sebesar Rp 14 miliar yang bersumber dari APBD.

Untuk tahap pengumpulan data bukti dan keterangan (pubaket), korps Satya Adhyaksa ini mengklaim sudah meminta klarifikasi mantan Bupati dan Penjabat Bupati KLU, H Djohan Syamsu dan Ashari. ‘’Mantan bupati dan mantan penjabat bupati sudah kami mintai klarifikasinya hari Rabu (4/5) pekan lalu,’’ ujar Kadek Topan Adi Putra selaku penyelidik kasus Bansos KLU didampingi Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB, I Made Sutapa saat memberikan keterangan kepada wartawan di Mataram, kemarin (10/5).

Dijelaskannya, klarifikasi terhadap mantan Bupati Djohan Syamsu terkait dengan kapasitasnya kala itu selaku pihak yang mengeluarkan SK penetapan penerima dan besaran bantuan yang tertuang dalam APBD murni sebesar Rp 3,7 miliar untuk bansos kemasyarakatan. Karena dia yang menandatangani SK tersebut waktu itu. Sedangkan mantan Penjabat Bupati KLU H Ashari dimintai klarifikasinya terkait dengan kapasitasnya kala itu selaku pihak yang mengeluarkan SK penetapan penerima dan besaran bantuan yang tertuang dalam APBD Perubahan sebesar Rp 10 miliar. ‘’Jadi keduanya mengeluarkan dan menandatangani SK. Kalau Penjabat itu mengeluarkan bansos dari APBD perubahan sebesar Rp 10 miliar. Beliau sebagai penjabat kan semenjak bulan Agustus,’’ ungkapnya.    

Dikatakannya, pada anggaran tahun 2015 ada nomenklatur bansos yang dianggarkan dalam APBD murni sebesar Rp 3,7 miliar untuk bansos kemasyarakatan. Kemudian dalam APBD Perubahan juga muncul nomenklatur bansos sebesar Rp 10,2 miliar. ‘’Kalau ditotal jumlah bansos ini mencapai Rp 14 miliar lebih,’’ katanya.

Kemudian dari Rp 14 miliar lebih ini sudah tereliasasi dan terserap sebesar Rp 13,2 miliar. Bansos tersebut diperuntukkan untuk organisasi kemasyarakatan (ormas), rehab rumah tidak layak huni sebesar Rp 10 miliar. Bansos juga diperuntukkan untuk Kelompok Usaha Bersama (KUBe) sebesar Rp 2 miliar. ‘’Nah sisanya itu diperuntukkan untuk ormas. Itu rinciannya,’’ ungkapnya.   

Setelah ditelusuri, ormas penerima bansos sudah hampir rampung diklarifikasi oleh kejaksaan. Kemudian penerima bansos dari program rehab rumah terdapat 100 proposal. Untuk KUBe juga disebutnya ada 100 proposal penerima bantuan.

Setelah dilakukan pengembangan, kejaksaan mengakui adanya indikasi penyimpangan yang dilakukan. Namun bentuk penyimpangan yang dilakukan tidak bersedia disebutkan ke publik. ‘’Memang ada indikasinya tapi masih terus kami dalami. Ini juga masih penyelidikan yang secara materi belum bisa untuk diungkap,’’ sebutnya.

Kejaksaan juga mengakui pada saat ini sedang melakukan dan mengagendakan pemeriksaan terhadap 100 kelompok penerima bantuan untuk program rehab rumah. ‘’Hari ini (kemarin, Red) kami minta keterangan dari 30 kelompok penerima. Satu kelompok itu terdiri dari 10 orang penerima,’’ jelasnya.

Kasus ini bermula dari laporan masyarakat  kepada kejaksaan akhir tahun lalu terkait dengan dugaan penyimpangan Surat Keputusan (SK) penetapan besaran dan penerima bansos. Inilah yang diuji kejaksaan. Karena dalam laporannya, ada penerima yang masuk dalam SK tapi pada kenyatannya tidak menerima bantuan. Dari pengujian yang dilakukan  oleh kejaksaan kemudian berkembang pemberian bansos kepada program rehab rumah. (gal)

Komentar Anda