
MATARAM – Dugaan kasus pelecehan seksual yang menimpa dua mahasiswi Universitas Mataram (Unram) di Rinjani Lodge Villa & Hotel, di Kabupaten Lombok Utara (KLU), kini memasuki tahap persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Mataram.
Dalam hal ini, seorang manajer hotel di kawasan wisata Senaru, KLU, berinisial AD, resmi didakwa melakukan pelecehan seksual terhadap dua mahasiswi Unram dalam sidang tertutup, di Pengadilan Negeri Mataram, Rabu (11/6).
Dugaan pelecehan yang menimpa kedua mahasiswi berinisial CM dan DT itu terjadi selama masa praktik kerja lapangan (PKL) di Rinjani Lodge Villa & Hotel pada Desember 2022 hingga Februari 2023 lalu.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Mataram Muthmainnah mengatakan, dalam surat dakwaan yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Mataram, terdakwa AD dijerat Pasal 6 huruf c Jo Pasal 15 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. “Perbuatan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan kerentanan korban dan terjadi berulang kali,” jelasnya kemarin.
Beberapa peristiwa yang disebutkan dalam dakwaan antara lain, terdakwa memeluk korban DT dari belakang tanpa persetujuan. Kemudian menyentuh paha korban saat berada di dapur hotel. Lalu melontarkan komentar seksual yang merendahkan fisik korban.
Selanjutnya, memegang kemaluan korban dari luar celana. Mengajak korban mandi bersama dan menyuruh korban memegang alat kelaminnya, dan mengancam korban agar tidak melaporkan perbuatan. Peristiwa ini membuat korban mengalami tekanan psikologis berat. Hasil pemeriksaan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) NTB menyimpulkan bahwa korban DT mengalami gangguan psikologis akibat peristiwa traumatis tersebut. Kasus ini pertama kali dilaporkan ke Polres Lombok Utara oleh korban CM pada 31 Maret 2023.
Namun saat itu, laporan dinyatakan belum cukup bukti. Kemudian pada 20 Mei 2024, laporan resmi kembali diajukan oleh korban CM dan DT, dan akhirnya pada 30 Oktober 2024, AD ditetapkan sebagai tersangka. Perkara ini dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Mataram pada 15 Mei 2025, dan penahanan terhadap tersangka dilakukan sejak tanggal yang sama. Sidang perdana kasus ini terdaftar di Pengadilan Negeri Mataram dengan nomor perkara 304/Pid.Sus/2025/PN Mtr.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) NTB Yan Mangandar, menyatakan dukungannya terhadap proses hukum yang tengah berjalan dan mendorong perlindungan maksimal bagi para korban. “Kasus ini mencerminkan betapa pentingnya perlindungan terhadap peserta magang, khususnya perempuan, agar terhindar dari situasi eksploitasi dan kekerasan,” ujarnya.
Perwakilan Tim Kuasa Hukum Korban, Imam Zazuni, menyampaikan sejumlah keprihatinan terkait jalannya persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Mataram. Salah satunya adalah soal tidak diberikannya akses bagi pendamping hukum dan keluarga korban untuk mengikuti jalannya sidang.
Imam mengungkapkan bahwa dirinya bersama pendamping korban serta keluarga sempat diusir keluar dari ruang sidang oleh hakim. Padahal, menurutnya, berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), korban seharusnya mendapat pendampingan selama proses hukum berlangsung.
“Kami sangat menyayangkan, dalam persidangan kami tidak diizinkan masuk. Padahal seharusnya korban mendapatkan pendampingan hukum. Kami juga sudah koordinasi dengan jaksa, tapi responsnya tidak tegas,” kata Imam usai persidangan.
Ia juga mengkritik jalannya persidangan yang menurutnya cenderung membuat korban merasa tidak nyaman. Selain tidak dihadiri oleh penasihat hukum korban di ruang sidang, Imam menilai ada pertanyaan-pertanyaan dari hakim maupun tim kuasa hukum terdakwa yang bersifat menjebak dan membingungkan saksi. “Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkesan mengulang dan menjebak. Itu membuat saksi jadi bingung,” ujarnya.
Lebih lanjut, Imam juga menyinggung adanya intimidasi selama persidangan, termasuk berupa bentakan dengan suara keras yang diarahkan kepada saksi. Hal ini dinilai berpotensi mengganggu kenyamanan dan psikologis saksi.
Terkait kehadiran saksi, Imam menyebut seharusnya ada empat orang saksi yang memberikan keterangan dalam sidang kali ini, yaitu RM, DT, CM, dan NZ. Namun yang hadir hanya RM dan DT. Sementara NZ berhalangan hadir dan CM sedang berada di luar negeri juga tidak dapat hadir, karena sedang hamil dan dalam kondisi kesehatan yang kurang baik. “Kondisi saksi CM sedang hamil dan tidak sehat, sehingga belum bisa memberikan keterangan,” pungkas Imam.
Sementara itu, di hari yang sama Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Mataram (BEM Unram) menggelar aksi damai di depan PN Mataram. Mereka mengecam keras tindakan kekerasan yang dialami oleh dua korban yang merupakan mahasiswi Unram.
Pernyataan sikap tersebut disampaikan dalam aksi damai yang digelar di depan Pengadilan Negeri (PN) Mataram, bertepatan dengan dimulainya proses persidangan kasus tersebut.
Wakil Sekretaris Jenderal BEM Unram Tara Karillah Davanti menyampaikan, bahwa aksi tersebut merupakan bentuk solidaritas terhadap korban dan upaya menuntut keadilan. “Kami mengecam segala bentuk kekerasan terhadap mahasiswi. Untuk tuntutan dalam persidangan, kami menyerahkannya kepada kuasa hukum korban,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa sempat ada intimidasi dari aparat kepolisian saat proses awal pelaporan kasus. Akibatnya, kasus ini sempat tidak mendapat perhatian dan cenderung tenggelam.
Namun, setelah kembali viral di media sosial dan mendapatkan sorotan publik, kasus ini kini telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram dan memasuki tahap persidangan di PN Mataram.
Aksi damai yang digelar BEM Unram bersama sejumlah mahasiswa di depan PN Mataram berlangsung tertib. Mereka menyuarakan aspirasi agar kasus kekerasan terhadap mahasiswa tidak lagi terjadi dan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. (rie)