MATARAM — Terpidana korupsi dana rehabilitasi dan pemeliharaan gedung Unit Pelaksana Teknis (UPT) Asrama Haji Embarkasi Lombok tahun 2019, Dyah Estu Kurniawati terpaksa harus gigit jari. Pasalnya, permohonan peninjauan kembali (PK) yang dimohonkan beberapa waktu lalu ditolak Mahkamah Agung (MA).
“Iya, ditolak PK-nya. Baru petikannya saja yang turun,” kata Humas Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Kelik Trimargo kepada Radar Lombok, Rabu (28/8).
Kelik mengaku belum menerima berkas lengkap PK tersebut. Kendati demikian, pihaknya akan meneruskan putusan PK itu ke para penasihat hukum terpidana dan jaksa penuntut. “Iya, nanti kita sampaikan petikan putusan itu ke jaksa dan penasihat hukum terpidana,” katanya.
Dalam putusan PK yang diterima Radar Lombok, MA menyatakan menolak permohonan PK dari pemohon Dyah Estu Kurniawati, selaku Direktur CV Kerta Agung. “Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tetap berlaku,” dikutip dari putusan MA yang diterima Radar Lombok.
Putusan yang dimohonkan peninjauan kembali itu, ialah putusan hakim tingkat kasasi pada MA yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan badan.
Sebelum dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim tingkat kasasi, Dyah awalnya dinyatakan tidak bersalah melakukan korupsi sebagaimana dakwaan primer dan subsider jaksa penuntut oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Mataram.
Pada tuntutan jaksa, Dyah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa penuntut pun menuntut agar hakim tingkat pertama menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 7,5 tahun. Juga pidana denda sebesar Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan. Tidak hanya itu, jaksa itu meminta hakim untuk membebankan Dyah untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 1,3 miliar subsider 3,9 tahun.
Diketahui, Dyah adalah salah satu nama yang terjerat dalam korupsi tersebut. Dyah melakukan tindak pidana korupsi bersama mantan Kepala UPT Asrama Haji Embarkasi Lombok Abdurrazak Al Fakhir, yang juga sudah berstatus terpidana. Serta Wishnu Selamet Basuki yang kini berstatus daftar Pencarian orang (DPO).
Dalam kasus ini, Abdurrazak membuat persetujuan dengan saksi Wisnu dalam pencairan uang muka proyek sebesar 30 persen atau senilai Rp791 juta dari total anggaran. Uang muka tersebut ditransfer langsung ke rekening pribadi saksi Wisnu tanpa melalui rekening CV Kerta Agung.
Kemudian, Dyah sebagai direktur perusahaan pelaksana proyek dari CV Kerta Agung dinyatakan bersama Wishnu Selamat Basuki dan Abdurrazak Al Fakhir sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam munculnya kerugian negara tersebut. Wishnu dalam perkara ini berperan sebagai pihak yang melaksanakan proyek dari penunjukkan langsung Direktur CV Kerta Agung.
Untuk diketahui, dalam kasus yang menjerat tiga orang ini nilai kerugian negara yang keluar sebesar Rp2,65 miliar. Kerugian negara ini keluar setelah dilakukan perhitungan oleh BPKP Provinsi NTB.
Nilai ini muncul dari kelebihan pembayaran atas kurangnya volume pekerjaan. Rinciannya, rehabilitasi gedung di UPT asrama haji sebesar Rp 1,17 miliar, rehabilitasi gedung hotel Rp373,11 juta, rehabilitasi Gedung Mina Rp235,95 juta, rehabilitasi Gedung Safwa Rp242,92 juta, rehabilitasi Gedung Arofah Rp290,6 juta, dan rehabilitasi gedung PIH sebesar Rp28,6 juta. (sid)