MATARAM – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu lalu (25/05), mendapat respon beranekaragam.
Di dalam Perppu itu, ada aturan pemberatan hukuman terhadap pelaku pemerkosaan anak dengan cara kebiri kimiawi. Namun Perppu itu dinilai hanya untuk memuaskan harapan masyarakat saja tanpa diiringi solusi. Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, Joko Jumadi kepada Radar Lombok menjelaskan, Perppu yang telah ditandatangani Presiden isinya jauh dari harapan. “Jujur saya kecewa, isi Perppu sama sekali tidak berikan solusi,” ungkapnya Kamis kemarin (26/5).
Beberapa kelemahan dari Perppu tersebut diantaranya tidak mengatur nasib korban kekerasan seksual . Titik tekannya hanya kepada pelaku saja, sementara rehabilitasi korban tidak disinggung sama sekali. Padahal itu sangat penting dan menjadi persoalan krusial juga selama ini. Akibatnya kata Joko, korban akan membayar sendiri ketika harus berobat ke rumah sakit. Untuk mendapatkan psikolog juga harus dicari sendiri oleh keluarga korban. “Makanya kok Perppu ini tidak bicara substansi, hanya untuk memuaskan publik saja,” ucapnya.
Selain masalah korban yang tidak diperhatikan, hukuman kepada pelaku dinilai kurang tepat karena hanya dikebiri selama 2 tahun saja. Setelah 2 tahun, maka pelaku tidak akan dikebiri lagi dan bisa saja menimbulkan korban baru lagi nantinya.
Apabila hormon tidak disuntikkan lagi, seseorang akan kembali merasa normal. Birahi seksualnya hanya akan hilang apabila disuntikkan saja. “Hulu tidak diperhatikan, hilirnya juga lemah Perppu ini,” ucap Joko yang mengharapkan adanya peran pemerintah daerah lebih aktif.
Ditambahkan Joko, peran pemerintah daerah sangat penting dengan lemahnya Perppu, pencegahan dan antisipasi sama sekali tidak dibahas. Apalagi nasib korban yang seharusnya menjadi perhatian utama. “Kita di daerah harus punya tim yang bertugas memulihkan kejiwaan korban,” harapnya.
Terakhir kata Joko, Perppu tidak mengatur apabila terjadi kekerasan seksual terhadap wanita dewasa. Perppu hanya mengatur apabila korbannya anak kecil. Padahal apabila ditelaah, kekerasan seksual terahdap wanita dewasa juga sangat tinggi. Joko sangat berharap DPR-RI bisa jeli melihat kelemahan-kelemahan Perppu sehingga ada upaya penyempurnaan.
Kekerasan seksual terhadap anak harus menjadi perhatian Pemda di NTB karena kasusnya cukup tinggi. Jumlah kasus yang ditangani LPA saja pada tahun 2016 mencapai 62 kasus. “Itu yang kami tangani saja, belum yang tidak terdeteksi dan yang ditangani teman-teman di luar LPA bisa mencapai 100-an. Tahun lalu juga begitu, ada sekitar 200-an kasus, itu yang tertangani saja dan belum yang tidak tertangani,” ucap Joko.
Anggota Komisi V DPRD NTB, Hj Suryahartin mengapresiasi sikap pemerintah pusat yang tanggap menyikapi aspirasi publik. Namun politisi Partai Nasdem ini juga sangat menyayangkan Perppu hanya mengatur kekerasan seksual terhadap anak saja, sementara kekerasan seksual terhadap wanita dewasa tidak dikenakan kebiri.
Hukuman kebiri harus bisa dilaksanakan dengan baik, berbagai kekurangan yang ada diharapkan bisa mendapat penyempurnaan. “Kita apresiasi Perppu meskipun banyak kekurangan, yang penting itu sebenarnya nanti pada pelaksanaannya. Harus benar-benar bisa memunculkan efek jera,” katanya. (zwr)