LPA dan KOMPAKS Protes Persidangan Kasus Kekerasan Seksual di PN Mataram

KECEWA: Perwakilan LPA Mataram dan KOMPAKS NTB mendatangi PN Mataram, untuk menyampaikan kekecewaannya terkait sejumlah putusan hakim pada kasus kekerasan seksual. (NASRI/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram bersama Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) NTB, menyampaikan keberatan resmi terhadap sejumlah proses persidangan kasus kekerasan seksual di Pengadilan Negeri (PN) Mataram.

Menurut mereka, sejumlah putusan yang dilakukan PN Mataram dinilai bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Salah satu sorotan utama LPA Mataram dan KOMPAKS NTB, adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Lombok Utara (KLU). Dalam proses persidangan kasus tersebut, hakim diketahui mengusir pendamping korban dari ruang sidang. Padahal, berdasarkan UU TPKS, korban memiliki hak untuk didampingi pada setiap tahapan, termasuk selama pemeriksaan di persidangan.

“Ini merupakan pelanggaran hukum. Pendampingan adalah hak korban sebagaimana diatur dalam UU TPKS. Pengusiran pendamping tidak hanya mencederai hak korban, tapi juga bertentangan dengan amanat undang-undang,” tegas Ketua LPA Mataram, Joko Jumadi, Selasa (24/6).

Selain itu, LPA juga menyoroti kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren di Sekotong, Lombok Barat. Dalam kasus ini, korban, termasuk anak-anak, dipaksa untuk bersaksi secara langsung di hadapan terdakwa di ruang sidang.

Baca Juga :  Dua CPNS Pemprov Mundur

Hal ini jelas melanggar ketentuan UU TPKS dan UU Perlindungan Anak yang secara tegas melarang pertemuan langsung antara korban dan terdakwa dalam proses pemeriksaan, baik anak maupun dewasa.

“Hal seperti ini tidak seharusnya terjadi di lembaga peradilan. Kami menyayangkan keputusan hakim yang mempertemukan korban dan terdakwa dalam satu ruang. Ini menambah beban psikologis korban,” lanjutnya.

Atas sejumlah kejadian tersebut, LPA Mataram telah mengajukan keberatan secara resmi kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Mataram, termasuk kepada ketua majelis hakim yang memimpin sidang-sidang tersebut. Tak hanya itu, pihaknya juga berencana melaporkan pelanggaran ini ke Mahkamah Agung.

Terkait insiden pengusiran pendamping korban dari ruang sidang, pihak pengadilan mengaku belum menerima informasi secara resmi. “Kami sebenarnya berharap bisa bertemu langsung dengan pimpinan pengadilan hari ini. Karena persoalan ini tidak hanya terjadi di satu majelis hakim saja,” ujar perwakilan LPA.

Baca Juga :  Jadi Temuan KPK, Biro Hukum Minta PKS Dishub dan KKB Dihentikan Sementara

LPA Mataram berharap langkah ini menjadi perhatian serius bagi aparat penegak hukum, agar proses hukum terhadap korban kekerasan seksual benar-benar berpihak pada perlindungan dan pemulihan korban sesuai amanat undang-undang.

Joko menyebut kasus pondok pesantren Al Banawa sebagai contoh konkret. Dari 41 korban, hanya satu yang akhirnya bersaksi. Sisanya menghilang dari proses hukum diduga karena tekanan atau bujukan dari pihak pelaku. “Korban kekerasan seksual itu rentan sekali untuk mendapatkan intimidasi,” katanya.

Joko menegaskan, Hakim dan aparat peradilan seharusnya patuh terhadap rambu-rambu dalam UU TPKS, yang dengan tegas mengatur tentang hak dan perlindungan terhadap korban sejak tahap awal penyidikan hingga proses peradilan.

Hingga berita ini diturunkan, pihak PN Mataram belum memberikan keterangan resmi terkait aksi maupun substansi keberatan yang disampaikan oleh KOMPAKS NTB dan LPA. (rie)