Lokakarya Nelayan dan Pertanian Dihadiri 12 Negara

PEMBUKAAN: Sekjen APRACA, Dr. Prasun Kumar DAS, dan Asisten Gubernur Bank Indonesia, Dyah Nastiti K. Makhijani, saat membuka pertemuan atau lokakarya APRACA di Hotel Sheraton Lombok, Rabu kemarin (22/3) (LUKMANUL HAKIM/RADAR LOMBOK)

GIRI MENANG—Sebanyak 12 negara hadir dalam lokakarya mendukung inovasi dan intervensi dalam meningkatkan pembiayaan di sektor kelautan perikanan dan pertanian yang dilakukan secara berkesinambungan.

Lokakarya yang diikuti 12 negara diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Asia -Pasific Rural and Agricultural Credit Association (APRACA), Rabu kemarin (22/3) di Hotel Sheraton Senggigi, Lombok Barat. Hadir pada pertemuan tersebut dan membuka langsung kegatan adalah Asisten Gubernur Bank Indonesia, Dyah Nastiti K. Mkhijani dan hadir juga Sekretaris Jenderal APRACA,  Dr. Prasun Kumar DAS dan perwakilan dari 12 negara Asia -Pasifik.

Asisten Gubernur Bank Indonesia, Dyah Nastiti K. Makhijani mengatakan, Bank Indonesia senantiasa mendukung inovasi dan intervensi dalam upaya meningkatkan pembiayaan di sektor pertanian yang dilakukan secara berkesinambungan. Hal tersebut termasuk mempelajari dan mengimplementasikan berbagai ‘best practices’ yang sesuai dengan potensi dan situasi di masing-masing negara.

[postingan number=3 tag=”ekonomi”]

“Kami ingin sektor pertanian dan kelautan perikanan ini membutuhkan inovasi dan intervensi yang baik. Karena selama ini dua sektor tersebut masih kurang dilirik industri perbankan,” kata Dyah.

Dikatakan, dalam lokakarya bersama 12 negara anggota APRACA  ini memiliki tujuan untuk mendiseminasikan hasil pilot project yang telah dilaksanakan sebelumnya, mengenai pengembangan jasa keuangan di sektor pertanian dan pedesaan yang berkelanjutan melalui aplikasi ‘best practice’ yang sesuai dengan kondisi masing-masing negara.

Baca Juga :  Empat Pilar untuk Memuluskan Food Estate

Pilot project tersebut merupakan kolaborasi antara APRACA dan International Fund for Agricultural Development (IFAD), dan secara resmi disebut Documenting Global Best Practices on Sustainable Models of Pro-Poor Rural Financial Services in Developing Countries (RuFBeP Project).

Terdapat 4 fase pelaksanaan proyek tersebut, yang berlangsung dalam rentang tahun 2014-2018. Fase pertama yang dimulai sejak 2014 adalah identifikasi ‘best practices’ jasa layanan keuangan pedesaan yang dilaksanakan di 5 negara diantaranya, Thailand, Indonesia, China, Philipina, dan India. Fase kedua pada tahun 2015-2016 merupakan ‘pilot project dari best practices” yang dilaksanakan di 3 negara yakni Indonesia, China, dan Philipina. Fase ketiga merupakan diseminasi hasil pilot project dan merumuskan arah untuk mendorong penerapan ‘best practices’, dilanjutkan fase keempat yaitu diseminasi hasil RuFBeP project dalam bentuk program pertukaran kunjungan ‘Exchange visit program’.

Ia menyebut bahwa lokakarya diikuti oleh 68 peserta dari 12 negara. Selain mendiseminasikan hasil pilot project di 3 negara yakni Indonesia, China dan Philipina, lokakarya juga menghadirkan para ahli di bidangnya, antara lain dari National Bank For Agriculture And Rural Development (NABARD) India dan IFAD yang akan memaparkan berbagai inovasi dan best practices pembiayaan sektor pertanian di berbagai negara di Asia.

Baca Juga :  Pertanian Holtikultura NTB Belum Sesuai Harapan

Lebih lanjut Dyah mengatakan, dalam rangka pelaksanaan proyek, di setiap negara dibentuk forum koordinasi berupa Country Working Group. Di Indonesia, Country Working Group dipimpin oleh Bank Indonesia yang terdiri dari beberapa kementerian/lembaga terkait, yaitu, Bappenas, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Koperasi dan UKM. (luk)

Sementara Deputi Bappenas RI, Gellwyn Daniel Hamzah Yusuf mengatakan, program pembiayaan untuk sektor pertanian dan kelautan perikanan ini menjadi hal terpenting. Pasalnya, selama ini dua sektor ini menjadi sentral basis kemiskinan secara nasional.

Padahal, peluang kerja di dua sektor ini sangat besar yang menjadi penopang utama perekenomian nasional. Hanya saja, alokasi pembiayaan/kredit di sektor ini sangat minim dari perbankan. Hal tersebut disebabkan reskio kredit macet yang sangat tinggi. Karena keedua sektor ini sangat ditentukan oleh faktor musim dan cuaca. “Pembiayaan dua sektor ini memerlukan inovasi dan intervensi khusus. Itulah yang akan dibahas dalam pertemuan bersama 12 negara ini untuk berbagi konsep apa yang paling ampuh untuk diterapkan di Indonesia,” katanya. (luk)

Komentar Anda