Lobar Minta Pusat Hargai Hak Desa

Dana Desa untuk Lobar Berkurang Rp 7 Miliar

HERI RAMADHAN (Fahmy/Radar Lombok)

GIRI MENANG –  Dana Desa (DD) dari pemerintah pusat untuk 119 desa yang ada di Kabupaten Lombok Barat berkurang di tahun 2022. Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Lombok Barat sudah menerima pagu anggaran dana desa tahun 2022.

Kepala Dinas PMD Lombok Barat, Heri Ramadhan, menjelaskan, pada tahun 2022 DD untuk Lombok Barat mengalami penurunan. Tahun 2021 total DD sebesar Rp 162 miliar, sedangkan tahun 2022 ada Rp 155 miliar, atau berkurang sekitar Rp 7 miliar. “ Jumlahnya berkurang,” ungkap Heri, Minggu (19/12).

Namun untuk rincian pengurangan per desa masih menunggu SK Kementerian Keuangan. Berkurangnya DD ini jelas akan berdampak terhadap program di desa.” Jadi kita tunggu rinciannya. Kita tunggu SK (Kemenkeu),” ungkapnya.

Adanya pengurangan pagu DD, maka secara otomatis berkurang DD yang diterima desa. Soal berapa besar pengurangan, itu yang masih ditunggu.”Kalau pagunya sudah ada, dan berkurang. Otomatis nanti jatah DD per desa juga berkurang,” tegasnya.

Ditanya soal pemberlakuan Perpres 104 tahun 2021 tentang pengalokasian sekitar 40 persen DD untuk BLT yang mendapatkan penolakan para Kades, Heri mengatakan sikap pemerintah daerah tentu harus sama dengan pemerintah pusat. Kebijakan Pemda harus sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat sebagai bagian integral dari struktur pemerintahan.” Dalam situasi pandemi seperti ini kebijakan pemerintah pusat itu cukup logis. Karena ada tiga kegiatan yang memang diperlukan saat kondisi pandemi ini,” katanya.

Seperti BLT DD untuk meningkatkan daya beli masyarakat mengingat akses ekonomi masyarakat terbatas. Dari aspek ketahanan pangan juga diperlukan untuk memberikan daya ungkit perekonomian warga. Termasuk, 8 persen untuk penanganan Covid-19 juga penting. Manakala ditinjau dari perspektif kewenangan desa memang diakuinya kebijakan itu mereduksi kewenangan desa dan tidak sesuai dengan khittah UU nomor 6 tahun 2014. Terdapat kelokalan desa di sana, ada hak yang didasari oleh dua asas yakni rekognisi dan subsidaritas.

Baca Juga :  Penutup Gorong-gorong di Senggigi Dicuri

Dimana dua asas ini sangat menghormati eksistensi dan hak-hak desa dalam sistem ketatanegaraan. Intinya, semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat diupayakan dikelola dan diurus oleh desa berdasarkan batas kewenangan desa. Jadi perlu diingat, katanya, Perpres nomor 104 tahun 2021 ini punya dasar hukum yang kuat yakni UU nomor 2 tahun 2020 menyangkut kebijakan keuangan dan stabilitas ekonomi negara yang harus dijaga. “Jadi tidak bisa hanya merujuk kepada Undang-undang desa untuk mengkritisi kebijakan ini karena ada rujukan UU lain yang mendukung Perpres nomor 104 tahun 2021 ini,” jelasnya.

Yang menjadi masalah lanjutnya, pengaturan persentase DD. Dimana 68 persen diatur penggunaannya oleh pemerintah. Dengan ketentuan, 40 persen untuk BLT DD, 20 persen untuk ketahanan pangan, dan 8 persen untuk penanganan covid-19. Hanya tersisa sekitar 32 persen ruang fiskal desa untuk membuat program prioritas lainnya. BLT DD misalnya, harus dialokasikan minimal 40 persen. Padahal kondisi di masing-masing desa berbeda-beda. Ada desa yang cukup dengan mengalokasikan Rp 100 juta untuk BLT DD, karena memang sedikit penduduk miskin yang layak dibantu. Sebaliknya juga ada desa yang kantong kemiskinannya banyak.

Baca Juga :  Konfercab NU Lobar, Nazar Na’amy Masih Diinginkan Nahdliyyin

Menurutnya, mestinya tidak diatur persentase BLT DD ini, dengan mematok rata 40 persen minimal.” Sebenarnya tidak mesti diatur 40 persen minimal, mestinya serahkan ke desa sebagai bentuk penghargaan ke desa. Seperti sebelumnya itu, bagus itu. Diatur oleh desa,” tambahnya.

Perpres ini juga ia nilai mengacaukan sistem tatahan perencanaan desa. Karena perencanaan sudah dibuat, di-Musdes-kan, namun harus berubah. Sehingga Kades harus bisa menjelaskan kembali kepada masyarakat, kenapa program yang sudah dimusyawarahkan berubah dengan adanya regulasi Perpres ini. Pihaknya berharap agar aspirasi Kades bisa didengar oleh pemerintah pusat.

Sebelumnya, para Kades menolak dan menuntut revisi Perpres tersebut. Khususnya pasal 5 ayat 4 karena dinilai mengibiri kedaulatan desa. Para Kades pun mengirim surat ke Presiden Joko Widodo untuk meminta agar Perpres tersebut direvisi.

Ketua Umum Asosiasi Kepala Desa (Akad) Lobar yang juga ketua Forum Komunikasi Kepala Desa (FKKD) NTB, Sahril, mengatakan sebagai bentuk penolakan para Kades terhadap Perpres itu, FKKD bersama Forum Kades di NTB telah melakukan audiensi dengan Gubernur NTB. “ Bahkan kami (Kades se NTB) bersama-sama menandatangani surat kepada Presiden meminta merevisi Perpres nomor 104 tahun 2021, terutama terkait pemberlakukan persentase dana desa untuk BLT. Karena ini kami anggap mencederai sistem perencanaan kami di Pemdes,” tegas Syahril. (ami)

Komentar Anda