Listrik Padam Ancam Proses Pemungutan Suara

MUI NTB : Golput Itu Haram

LISTRIK-PADAM
ANTISIPASI : Suasana pemungutan suara di salah satu TPS di Lombok Timur pada Pilkada lalu. Pada hari pencoblosan tanggal 17 April mendatang, diharapkan listrik tidak mati agar Pemilu berjalan lancar. (DOK/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Pemilihan umum (Pemilu) kian dekat. Namun pelaksanaannya dikhawatirkan terganggu oleh hal-hal teknis seperti listrik padam.

Untuk memastikan kelancaran dan suksesnya pesta demokrasi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB menggelar rapat evaluasi. Rapat dilaksanakan kemarin dipimpin Wakil Gubernur NTB, Hj. Sitti Rohmi Djalilah, dihadiri  pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan bupati/wali kota.

Wagub mengatakan, persiapan pelaksanaan Pemilu sudah cukup baik. Namun hal yang perlu menjadi perhatian yaitu soal listrik pada hari pencoblosan. “Untuk persoalan listrik akan kita koordinasikan,” ungkapnya usai rapat.

BACA JUGA: KPU se-NTB Kekurangan 88.924 Surat Suara

Listrik sangat berperan penting dalam menyukseskan Pemilu. Mengingat petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) menggunakan pengeras suara untuk memanggil pemilih. Begitu juga ketika penghitungan surat suara membutuhkan listrik. Persoalan administrasi lainnya juga tidak luput dari kebutuhan listrik. Jangan sampai nanti listrik mengganggu pencoblosan seperti yang terjadi saat pelaksanaan UNBK.

Menurut Wagub, semua pihak harus berkontribusi memberikan peran masing-masing demi suksesnya Pemilu. “Kami berharap semua pihak, dan masyarakat NTB berpartisipasi menyukseskan pemilu ini,” ucapnya.

Dalam Rakor ia juga mengingatkan para penyelenggaran Pemilu untuk memastikan kesiapan pelaksanaan Pemilu 2019. Sehingga Pemilu 17 April 2019 dapat terlaksana dengan aman, kondusif dan lancar.

Berkaca pada Pilkada lalu, kata Wagub, partisipasi pemilu warga NTB cukup tinggi mencapai 75 persen. “Mudah-mudahan, harapan kami di tanggal 17 April lebih tinggi lagi atensi dan partisipasi,” harapnya.

Penting untuk diperhatikan dalam proses penghitungan suara. Hal itu harus direncanakan dengan baik. “Sebisa mungkin proses penghitungan suara harus direncanakan dengan baik, diperhitungkan dengan baik. Akan kita informasikan hingga ke para kepala desa, terkait lampu darurat juga akan kita infokan. Insya Allah NTB aman, terkendali semua,” ucapnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) NTB Suhardi Soud juga berharap agar tidak ada pemadaman listrik. “Kalau lampu tiba-tiba mati bisa menghambat proses hitung suara, bisa-bisa ngulang lagi. Ini kan bisa berbahaya juga,” katanya.

BACA JUGA: Beli Suara, Oknum Caleg Sediakan Rp 400 Juta

KPU NTB tentu saja tidak bisa melakukan intervensi terhadap pihak PLN. Oleh karena itu, peran Pemerintah Provinsi NTB sangat penting untuk segera berkoordinasi dengan PLN. “Tadi sudah kami sampaikan ke Ibu Wagub. Karena memang secara teknis, ini juga tanggungjawab kita bersama termasuk pimpinan daerah,” ungkap Suhardi.

Untuk mengantisipasi listrik mati, harus ada disiapkan jenset di TPS. Itulah pentingnya peran berbagai pihak. “ Kita harapkan di kabupaten/kota punya jenset. Karena NTB kan rawan mati listrik,” ucapnya.

Hal yang harus dipahami, Pemilu merupakan agenda besar nasional. PLN juga bertanggung jawab untuk membantu suksesnya Pemilu. “Ini kan tanggungjawab bersama kita semua untuk sukseskan. Jadi kita harap pihak PLN dapat berkontribusi dalam hal ini,” katanya.

Menurut Suhardi, Pemilu saat ini dinamikanya luar biasa, baik di dunia maya  maupun dunia nyata. Jumlah pemilih Pemilu 2019 di Provinsi NTB sendiri berdasarkan DPTHP3 pertanggal 3 april 2019 sebanyak 3.667.775 orang. Terdiri dari pemilih laki-Laki 1.801.219 orang dan perempuan 1.866.556.

Rekapitulasi surat suara akan dilakukan di PPK, KPU Kab/kota dan KPU Provinsi. Khusus rekapitulasi tingkat PPK, akan memakan waktu maksimal selama 17 hari. “Karena itu dibutuhkan gudang penyimpanan kotak suara di tingkat kecamatan, yang memerlukan pengawalan dan pengamanan,” terangnya.

Persoalan lainnya terkait surat suara. Disampaikan Suhardi, kebutuhan surat suara pemilu di NTB sebanyak 18.797.745 lembar. Rinciannya 18.740.745 lembar untuk pemilu, 57 ribu lembar surat suara untuk pemungutan suara ulang (PSU). “Kekurangan surat suara sebanyak 88.924 lembar surat suara atau 0,4 persen dari total kebutuhan,” sebutnya.

BACA JUGA: 1.165 Penderita Gangguan Jiwa Diberikan Hak Pilih

Sebanyak 88.924 surat suara atau sekitar 0,4 persen mengalami kekurangan karena kondisinya rusak. Kerusakannya berupa warna yang tidak jelas, kondisi robek, dan terkena tinta. Surat suara yang dalam kondisi rusak sudah dilaporkan kepada KPU RI.

Dalam waktu dekat, surat suara yang rusak dipastikan akan ada penggantian. “Sudah disampaikan ke KPU RI dan sedang disiapkan oleh percetakan untuk segera dikirim ke kabupaten dan kota di NTB.  Kita pastikan sebelum pelaksanaan pencoblosan penggatian surat suara itu sudah dilakukan,” ungkapnya.

Sementara itu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi NTB Prof H Saiful Muslim menegaskan, menggunakan hak suara pada pemilihan umum (Pemilu) merupakan kewajiban. Hal itu sesuai dengan fatwa MUI yang dikeluarkan berdasarkan Ijtima Ulama di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, tahun 2009. Sebuah fatwa, ucapnya, tetap berlaku hingga saat ini. “Fatwa MUI berlaku seluruhnya di Indonesia. Meski fatwa dikeluarkan sudah lama, tetap berlaku di Pemilu tahun ini, karena belum ada penggantinya,” terang Saiful Muslim kepada Radar Lombok, Selasa (9/4).

Belakangan ini, masyarakat Indonesia banyak membicarakan tentang fatwa MUI tersebut. Apalagi fatwa dikeluarkan oleh Ketua MUI KH Makruf Amin yang saat ini maju sebagai calon wakil Presiden (Cawapres). Fatwa MUI tersebut bahkan dibacakan pada saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres).

Saiful Muslim menegaskan, dalam fatwa tersebut dengan jelas disebutkan bahwa memilih pemimpin hukumnya wajib. “Kalau tidak kita pilih, yang tentukan pemimpin orang lain. Mereka kan bisa jadi calon karena syaratnya sudah terpenuhi. Kalau dianggap jelek keduanya, pilihlah yang paling sedikit kejelekannya. Kalau keduanya sama-sama baik, pilihlah yang lebih baik,” katanya.

Dalam fatwa MUI tersebut, disebutkan bawa Pemilu dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.

Imamah dan imarah dalam Islam, menghajatkan  syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat. Oleh karena itu, calon yang harus dipilih harus beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunya kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam. “Kita sudah terima isi fatwa, di rumah juga ada. Syarat-syarat pemimpin ini yang penting dulu. Kalau calon sudah sesuai syarat, wajib hukumnya dipilih,” tegas Saiful Muslim.

Sebaliknya, dalam fatwa juga telah ditetapkan. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram.

Berdasarkan fatwa tersebut, apakah menjadi menjadi golongan putih (Golput) hukumnya haram? Menurut Saiful Muslim, dalam fatwa tersebut tidak ada istilah Golput yang digunakan.

BACA JUGA: Pemberi dan Penerima Politik Uang Bisa Dipidana

Golput merupakan golongan yang tidak menggunakan hak suaranya. “Soal golput, banyak yang tidak milih karena berhalangan. Misalnya dalam perjalanan, uzur, sakit keras, di atas kapal. Itu tidak tergolong tidak memilih, tapi karena memang berhalangan,” jelasnya.

Apabila ada umat Islam yang tanpa halangan tidak ikut memilih pemimpin, maka itu merupakan tindakan sengaja. Sebuah kewajiban yang tidak dilaksanakan, tentu saja sikap yang tidak dibenarkan.

Seluruh umat Islam yang tidak memiliki halangan, maka wajib menggunakan hak suaranya. “Di fatwa itu tidak ada kata Golput, karena golongan itu banyak. Yang jelas, yang tidak memiliki halangan itu ya harus memilih dong. Alasan tidak memilih dengan sengaja, berarti anda tidak tentukan pemimpin. Kan diberikan hak dan kewajiban, kewajiban itu tetap memilih pemimpin. Kalau wajib tidak dilakukan, ya tidak benar. Hukumnya jelas di dalam fatwa,” tegasnya.

Sebagian masyarakat mendukung penuh isi fatwa tersebut. Namun ada pula yang mencibirnya. “Saya sih aneh saya mendengarnya. Masa kita gak ikut nyoblos jadi berdosa. Kalau nyoblos itu wajib, artinya tidak melaksanakan kewajiban mendapat dosa. Saya gak milih kan, karena menurut saya tidak ada yang cocok untuk dipilih,” ujar Muhyiddin salah seorang warga di NTB. (zwr)

Komentar Anda