Lewat Eksepsi Sidang Kasus NCC, Rosiady Merasa Dikambinghitamkan

JADWAL SIDANG: Jadwal sidang perkara dugaan korupsi kerja sama pembangunan NCC yang melibatkan mantan Sekda NTB, Rosiady Husaenie Sayuti, telah resmi diterbitkan PN Mataram.

MATARAM – Kasus dugaan korupsi proyek NTB Convention Center (NCC) yang melibatkan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) NTB, Rosiady Husaeni Sayuti mulai memanas. Itu setelah Rosiady mulai mengungkap nama-nama besar lewat eksepsi atau nota keberatannya selaku terdakwa.

Mantan Sekda NTB, Rosiady Husaeni Sayuti, yang kini duduk sebagai terdakwa, melawan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati NTB. Tak tanggung-tanggung, ia menyebut dirinya hanya dijadikan “kambing hitam” atas proyek mangkrak tersebut.

Rosiady melalui kuasa hukumnya, Rofiq Ashari, menyebut dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) penuh kejanggalan, tak cermat, dan salah sasaran. “Terdakwa dibebankan atas perbuatan-perbuatan pihak lain,” tegas Rofiq belum lama ini.

Tak berhenti di situ, Rofiq bahkan membongkar sederet nama pejabat teras NTB yang menurutnya lebih layak dimintai pertanggungjawaban. Diantaranya Iswandi, Eva Dewiyani, Wildan, Dwi Sugiyanto, Supran, Munaim, bahkan mantan Gubernur NTB dua periode 2008-2018, TGH M Zainul Majdi.

Kasus ini bermula dari kerja sama antara Pemprov NTB dan PT. Lombok Plaza dalam proyek pembangunan NCC menggunakan skema Bangun Guna Serah (BGS). Namun dalam perjalanannya, perusahaan tersebut gagal menepati janji, dan proyek pun terbengkalai. Meski sudah dua kali disomasi, bangunan tak kunjung berdiri.

Namun menurut pembela, ini bukanlah tindak pidana korupsi, melainkan sekadar wanprestasi alias ingkar janji kontrak. “Faktanya, dakwaan JPU tidak menggambarkan perbuatan melawan hukum, tapi murni persoalan perdata,” tegas Rofiq.

Dalam kasus ini, Rofiq menyebut jaksa mengabaikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) resmi dari BPK RI, baik sebelum maupun sesudah tahun anggaran 2014.

Padahal, laporan tersebut menunjukkan tidak adanya indikasi kerugian negara, bahkan memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan Pemprov NTB selama bertahun-tahun. “Jaksa justru hanya mengandalkan laporan dari kantor akuntan publik, bukan lembaga resmi negara,” katanya.

Lebih lanjut, eksepsi juga mengkritisi ketidakjelasan waktu dan lokasi perbuatan pidana (locus dan tempus delicti) yang dituduhkan. Padahal, semua proses teknis pembangunan, termasuk perubahan RAB, disebut telah disusun dan disetujui oleh pejabat terkait, seperti Kadis PU Dwi Sugiyanto dan Kepala Balai Gita Suciati Saleh.

Menariknya, jaksa juga dituding menyalin mentah-mentah dakwaan primair ke dakwaan subsidair, padahal kedua jenis dakwaan itu seharusnya berbeda secara hukum. Tindakan ini menurut pembela, jelas melanggar pedoman internal Kejagung RI. “Sudah sepatutnya dakwaan JPU dinyatakan batal demi hukum,” ujar Rofiq.

Kini, publik menanti langkah lanjutan majelis hakim. Apakah dakwaan akan berguguran atau justru akan membuka babak baru dari skandal yang menyeret nama-nama penting di lingkaran kekuasaan NTB tersebut. (rie)