Lembah Sempage Larang Penggunaan Kecimol Untuk Kegiatan Nyongkolan

Ilsutrasi Kecimol
Ilsutrasi Kecimol

GIRI MENANG – Selama ini musik kecimol dianggap sebagai biang keributan saat ada prosesi adat nyongkolan. Beberapa kepala desa di Lombok Barat bahkan melarang ada kecimol saat nyongkolan.

Soal ini, Bupati Lombok Barat H. Fauzan Khalid sepakat bahwa kegiatan nyongkolan menggunakan kecimol sering membuat ribut. Ia pun menyarankan kecimol diganti saja dengan seni musik lainnya seperti hadrah (seni rebana khas arab). Bisa juga cilokaq, disamping gendang beleq yang memang pas untuk nyongkolan. “Akan lebih bagus jika pakai kesenian cilokaq, hadrah dan semacamnya saat nyongkolan. Daripada pakai kecimol bikin orang rusuh. Tidak ada budaya masyarakat sasak berjoget di acara nyongkolan memakai kecimol,” tegasnya saat bersilaturahmi dengan warga Desa Lembah Sempage, Kecamatan Narmada, Minggu sore (29/10).

Baca Juga :  Akan Ada Islamic Center di Kabupaten Lombok Barat

Pernyataan ini disampaikan Fauzan melihat banyak kasus keributan saat nyongkolan gara-gara saling senggol saat berjoget. Di Desa Lembah Sempage, katanya, juga punya kesenian hadrah dan juga cilokaq yang bisa dikembangkan. “Mudah-mudahan di Desa Lembah Sempage bisa menjadi pelopor saat nyongkolan memakai cilokaq dan hadrah. Masyarakat punya cilokaq dan hadrah sendiri. Ini sebagai bentuk kita melestarikan budaya masyarakat Sasak, khususnya di Kabupaten Lombok Barat,” ajaknya.

Menanggapi ini, Kepala Desa Lembah Sempage, Turmuzi mengatakan, peraturan desa untuk tidak memakai kecimol saat nyongkolan sudah ada di Lembah Sempage. Nyongkolan disarankan menggunakan hadrah atau cilokaq. “Minimal sekarang kita pakai cilokaq, gendang beleq dan hadrah. Mulainya dari tahun 2015,” ungkapnya.

Dikatakan, penggunaan gendang beleq, cilokaq atau hadrah bisa mencegah keributan saat acara nyongkolan. “Kita juga lihat dari beberapa pengalaman sebelumnya, banyak kejadian yang tidak kita inginkan dari kejadian seperti nyongkolan memakai kecimol,” terangnya.

Aturan tersebut lanjutnya juga didukung kepala dusun dan tokoh adat yang tidak membolehkan penggunaan kecimol saat nyongkolan. Masyarakat pun antusias dan bersyukur dengan adanya aturan itu. “Di Lombok Barat, Desa Lembah Sempage pertama yang mendukung Peraturan Desa yang ketika nyongkolan menggunakan gendang beleq, cilokaq dan hadrah,” jelasnya.

Belum lama ini pemerhati budaya Sasak H. Lalu Anggawa Nuraksi juga sepakat bahwa penggunaan kecimol saat nyongkolan bukan adat Sasak. Boleh-boleh saja menggunakan kecimol ataupun ale-ale untuk hiburan, tetapi bukan saat nyongkolan melainkan pada malam hari saat begawe. Selain memang kata Anggawe, dalam pelaksanaan nyongkolan menggunakan kecimol membawa dampak negatif, karena sering kali ditemukan peserta yang minum minuman keras dan berkelahi. Belum lagi dengan tontonan tarian erotis.

Baca Juga :  Kades Dilarang Umbar Dukungan ke Balon Bupati di Pilkada Lobar 2018

Nyongkolan sendiri sebenarnya juga ada ketentuannya. Sebagai contoh, saat melewati kuburan atau masjid, maka peserta nyongkolan harus menghentikan tetabuhan dari jarak 100 meter sebelum dan sesudah areal kuburan atau masjid. Kemudian saat bertemu dengan iring-iringan jenazah, tetabuhan juga harus dihentikan. Yang paling penting, nyongkolan harus sudah berakhir sekitar pukul 16.30 Wita dengan tujuan agar peserta bisa melaksanakan salat Asar dan salat Magrib. (zul)

Komentar Anda