Lahan Penghasil Bawang Merah Dikavling Pengembang

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang  dibangun untuk mengatasi krisis listrik di daerah ini. Suntikan daya besar dari pembangkit ini adalah keharusan ditengah daerah yang sedang bergerak maju. Di balik itu, keberadaan PLTU menyertakan beragam efek lain diantaranya alih fungsi lahan pertanian untuk pemukiman baru, migrasi status petani menjadi pekerja sektor jasa. Tidak itu saja, munculnya banyak titik galian C baik legal maupun ilegal juga bersamaan dengan dimulainya pembangunan proyek ini.

 


Rasinah Abdul Igit_LOBAR


 

Desa Taman Ayu Kecamatan Gerung (sebelum mekar dari Desa Kebun Ayu) sejak dulu dikenal sebagai desa penyumbang produk pertanian bawang merah di Lombok Barat. Sebagian besar penduduk desa ini adalah petani, lalu disusul nelayan, peternak dan buruh lepas. Petani dari Dusun Bongor, Peseng dan sebagian Gunung Malang lebih aktif menanam bawang ketimbang padi. Pola tanam yang dipakai dalam satu musim yakni 3 kali bawang, 1 kali padi. Banyak pengusaha yang datang ke dusun-dusun setempat untuk memburu bawang merah.

“ Bawang jauh lebih menguntungkan. Walaupun punya 25 are saja, biasanya tetap untung. Bawang juga bisa disimpan lama. Kalau nanam padi, kita harus punya tanah sehektar lebih baru bisa benar-benar untung,” ungkap Sah (45), petani Taman Ayu saat ditemui koran ini beberapa waktu lalu.

Sebagai desa agraris, warga setempat sangat bergantung pada hasil tanam sawah. Meski demikian, tidak semua sawah di desa ini produktif. Di Dusun Jeranjang dan sekitarnya yang masuk wilayah pesisir, tanah tidak terlalu produktif. Karenanya warga lebih memilih mengolahnya menjadi tambak-tambak lepas.

Baca Juga :  Penyimpanan Limbah Abu PLTU Diduga tak Penuhi Standar

Di Dusun Bongor, jumlah petani kian berkurang sejak beberapa tahun terakhir. Itu artinya pula “brand” penghasil bawang juga mulai pudar. Penyebab utamanya adalah berkurangnya lahan garap petani yang efek dari alih fungsi lahan. Warga juga mulai beralih menjadi pekerja-pekerja sektor jasa yang dianggap lebih cepat menghasilkan uang ketimbang bertani.

“ Kehadiran PLTU ini sangat besar pengaruhnya,” ungkap Syaiful Kamal, pemuda Dusun Bongor.

Alumni Fakultas Pertanian Universitas Mataram ini mengakui ada pergeseran orientasi kerjas warga meski tidak menyebut kehadiran PLTU sebagai-satu-satunya penyebab. PLTU mulai dibangun sejak beberapa tahun lalu dalam rangka mengakhiri krisis listrik di daerah ini. Dulu, proses pembebasan lahan memakan waktu yang lumayan panjang. PLTU sebenarnya dibangun tidak jauh dari pesisir Endok, bergeser ke arah selatan dari posisinya saat ini. Namun karena riuhnya percaloan tanah, lokasi dipindah di lokasi saat ini yang berdekatan dengan areal pertanian subur.

Syaiful menerangkan, sejak mulai dibangun, PLTU Jeranjang telah menyerap tenaga skill dan non skill yang lumayan banyak. Terutama yang non skill, diakui banyak pemuda pengangguran dan eks TKI bisa diserap untuk tahap pembangunan.

“ Untuk petani-petani yang ikut terserap, mereka sebenarnya nyambi saja, sambilan menunggu hasil panen,” terangnya.

Baca Juga :  Sembilan Tahun Mangkrak, PLTU Bonto Dilanjutkan

Yang luput dari perhatian Syaiful dan warga lainnya adalah mulai bergeraknya alih fungsi lahan pertanian secara-besar-besaran. Beberapa waktu lalu Pemkab Lombok Barat menyinggung akan adanya pembangunan pemukiman-pemukiman baru di lingkar PLTU. Koran ini ini juga mencatat hal demikian di lapangan. Sejumlah titik lahan subur mulai dari wilayah Desa Kuranji Kecamatan Labuapi menuju selatan dekat PLTU telah dikuasai oleh developer yang berpusat di mataram. Pengembang tengah bersiap membangun hunian baru berbagai macam kelas.

“ Kalau pembangunan perumahan itu juga sudah kami dengar. Sebagai masyarakat dan juga petani, alih fungsi lahan seharusnya dikontrol secara ketat oleh pemerintah. Kalau mau membangun hunian silahkan di wilayah pesisir yang tanahnya tidak produktif. Jangan memakai lahan subur,” ungkap mantan aktivis ini.

Alih fungsi lahan pertanian bukan satu-satunya yang terjadi dibalik berdirinya megaproyek pembangkit listrik ini. Isu lingkungan, mislanya, mulai ramai diperbincangkan sejak proyek ini strart. Sebelum tahun 2010, tidak ada aktivitas galian C di gunung-gunung Desa Taman Ayu maupun Desa Kebun Ayu. Waktu itu warga hanya memanfaatkan lahan untuk membuat batu bata, itupun dengan volume produksi yang seadanya.

“ Mulai PLTU dibangun, kan butuh tanah uruk dan sebagainya.  Kemudian diambilkanlah batu dan tanah dari dekat-dekat sini. Lama-lama galian C marak. Walaupun berizin, tetap saja merusak,” ungkap Amdi (24) pemuda setempat lainnya.(git)

Komentar Anda