Kurangi Konsumsi Beras, Hadirkan ‘Beras Kreatif’ Minimalisir Penderita Diabetes

SEIRING jumlah penduduk yang terus bertambah, tentunya membutuhkan pangan makanan utamanya beras. Terlebih lagi di Provinsi  NTB, komsumsi beras cukup tinggi.

 


LUKMANUL HAKIM – MATARAM


 

Kebutuhan akan beras tentu akan terus bertambah, seiring meningkatnya jumlah penduduk. Hanya saja yang jadi persoalan sekarang ini adalah, kebutuhan akan beras terus bertambah, sementara lahan sawah produktif untuk menanam padi kian hari semakin tergerus akibat alih fungsi lahan baik itu pembangunan perumahan maupun infrastruktur lainnya.

Lahan pertanian untuk tanaman padi kian menyempit sementara disisi lain penduduk terus bertambah menjadi persoalan untuk ketersediaan pangan khususnya beras. Salah satu cara untuk tidak tergantung terhadap konsumsi beras, salah seorang peneliti dari Universitas Mataram, Prof Hj Sri Widiastuti memberi alternatif dengan menawarkan ‘beras kreatif’ sebagai pengganti beras yang selama ini menjadi konsumsi utama masyarakat.

Kehadiran ‘beras kreatif’ yang ditawarkan, Prof Hj Sri Widiastuti setelah melihat kondisi lahan pertanian di Provinsi NTB yang katanya sebagai lumbung pangan nasional, kian hari semakin berkurang karena dampak dari alih fungsi lahan yang cukup tinggi. Menurut Dekan Fakultas Teknologi Pangan (Fatepa) Unram ini, ‘beras kreatif’ bisa menjadi alternatif masyarakat untuk kedepannya. Sehingga masyarakat tidak lagi terlalu bergantung untuk konsumsi beras seperti sekarang ini. “Inovasi yang kami hadirkan ini tidak mie, tapi nasi. Karena orang NTB selalu makan nasi,’ kata Prof Widia sapaan akrabnya kemarin.

Prof Widia mulai secara serius melakukan penelitian untuk ‘beras kreatif’ ini di awal tahun 2016, ketika itu Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Nusa Tenggara Barat menginginkan adanya program diversifikasi pangan bisa berjalan di tengah masyarakat penduduk di NTB. Pasalnya, program diversifikasi pangan jauh sebelumnya telah digencarkan oleh BKP NTB dengan mendorong masyarakat mengkonsumsi umbi-umbian seperti jagung dan ubi kayu dan ubi jalar sebagai pengganti beras. Namun program tersebut tidak efektif, malah justru konsumsi beras di NTB semakin meningkat. Sementara produksi padi semakin menyusut.

Baca Juga :  Ipda Lale Dewi Lungit Tanauran, Anggota Ditlantas yang Jago Menembak

Prof  Widia kemudian menjalin kemitraan bersama BKP Provinsi NTB dan Universitas Gajah Mada (UGM) untuk meneliti dan menghasilkan ‘beras kreatif’ sebagai solusi dan alternatif selain beras. Beras alternatif ini diramu dari berbagai bahan baku, mulai dari menir beras, singkong, kedelai dan jagung. Namun bahan tersebut bisa ditambah ataupun diganti dengan yang lain sesuai dengan kebutuhan dan keinginan dari masyarakat yang mengkonsumsi.

Kehadiran dari ‘beras kreatif ini bertujuan sebagai pilihan dalam diverisifikasi pangan, sehingga tidak bergantung padi. Berbagai. Keuntungan beras ini adalah dari adonan. Selain itu bisa dibuat komposisi sesuai keinginan. Ada juga lebui, anti oksidan dengan adonan, biasa buat lainnya.

Untuk proses pembuatannya juga tidak terlalu ribet ataupun berbelit –belit, seperti dengan cara singkong di permentasi dulu secara alami selama tiga hari tiga malam. Kemudian ditumbuk ataupun menggunakan mesin tepung bersama varian pilihan lainnya. “Kelebihan dari ‘beras kreatif ini adalah tidak terlalu cepat meningkatkan gula darah. Berbeda dengan beras biasanya yang cukup tinggi meningatkan gula darah. Akibatnya orang Indonesia banyak mengidap diabetes, karena kelebihan gula darah,” terangnya.

Baca Juga :  Harus Dioperasi, Sang Ibu Tinggalkan Tugas Skripsi

Dikatakannya, kesiapan untuk melakukan penelitian terkait beras alternatif ini sudah cukup lama dilakukan. Baru di tahun 2016, setelah BKP NTB menyiapkan pembiayaan, maka dirinya bersama tim dari Unram, UGM dan University Newzealand mulai melakukan penelitian lebih intensif dan menghasilkan temuan tersebut.

Terlebih lagi, lahan tanam dan produksi terus berkurang, karena itu perlu membuat alternatif lain. Dalam memenuhi kebutuhan pangan yang aman, merata dan terjangkau. Selain itu, ketahanan pangan dikatakan tercapai apabila setiap orang memiliki kebutuhan pangan yang cukup sesuai nutrisi yang sehat dan aman.

Sejak tahun 1940-an ada perubahan pola konsumsi di Indonesia beras 55,35 persen dan jagung serta umbi-umbian 44 persen lebih,kemudian di tahun 1950 bergeser lagi menjadi 70 persen lebih untuk beras, dan jagung 18, 5 persen. Tahun 1980 mulai bergeser, beras jadi 80 persen, ubi jadi 10 persen dan jgung jadi 8 persen. kemudian tahun 1995 naik lagi konsumsi beras 90 persen, ubi 8 persen dan jagung 3 persen.

Akibatnya Indonesia sebagai negara penyakit diabetes terbesar, dimana sekitar 8,5 juta jiwa terkena diabetes. Oleh karena itu, perlu ada langkah diversifikasi pangan dan penganekaragaman pangan. “Karena produksi mulai berkurang, lahan mulai berubah jadi bangunan gedung. Ini yang melatarbelakangi penelitian dengan BKP, Unram dan UGM,” tutup Prof. Widia.(*)

Komentar Anda