Krisis Air Bersih di Gili Tramena, Ribuan Pekerja Terancam Menganggur

Para pengurus asosiasi hotel dan restoran di Gili Tramena dan juga NTB dan Kota Mataram.

MATARAM – Krisis air bersih di tiga gili yang ada di Lombok Utara, yakni Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air, benar -benar akan menjadi kenyataan. Pasalnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI per tanggal 24 Oktober 2024 sudah mencabut izin dari PT TCN, yang menjadi satu-satunya penyuplai air berih bermitra dengan PDAM Lombok Utara. Dengan demikian, Gili Tramena, dalam keadaan darurat suplai air bersih.

Kondisi tersebut menjadikan kekhwatiran para pelaku usaha, baik itu hotel, restoran dan juga Masyarakat di tiga gili akan keterediaan suplai air bersih. Dampaka besar terhadap darurat ketersediaan air bersih di Gili Tramena itu juga akan sangat besar, terhadap Pemkab Lombok Utara dan juga Provinsi NTB dan Indonesia secara lebih luas.

Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Lombok Utara Vicky Hanoy mengatakan ancaman darurat air bersih bakal menghancurkan industri pariwisata NTB, bahkan nama Indonesia di kancah internasional. Dampak buruk yang nyata adalah, ancaman jumlah pengangguran, industry pariwisata NTB yang buruk di mata dunia internasional.

“Di Gili sedidkitnya 4000 – 5000 orang tenaga kerja yang terancam menjadi pengangguran. Khusus di Gili Trawangan saja, itu ada sedikitnya 4000 orang yang bisa menjadi pengangguran. Karena ketika tidak air bersih, maka otomatis semua macam usaha di Gili Tramena itu, tidak akan bisa operasional,” ungkap Vicky Hanoy, didampingi Ketua IHGMA NTB Lalu Kusnawan dan sejumlah pelaku usaha hotel dan restoran di NTB, Sabtu (12/10).

Dengan kondisi yang sangat darurat tersebut, PHRI Lombok Utara, mendesak dan meminta kepada Pemkab Lombok Utara bersama PDAM Lombok Utara untuk secepatnya mencarikan solusi terkait ketersediaan air bersih untuk Gili Trawangan dan Gili Meno. Karena, kontrak pelaku usaha, baik hotel dan restoran dan juga masyarakat di dua gili yang saat ini terancam darurat air bersih, sudah membuat perjanjian dan kontrak kerja sama dengan PDAM Lombok Utara selaku pihak yang menyediakan dan menyuplai air bersih.

Menurut Vicky, jauh sebelumnya pihak PHRI Lombok Utara bersama asosiasi lainnya telah bersurat resmi kepada pihak Pemkab KLU dan juga PDAM terkait persoalan darurat air bersih tersebut. Namun, justeru baru setelah dua minggu surat dari PHRI direspon, dan berkali -kali melakukan pertemuan, namun tidak ada kejelasand dan Langkah nyata terkait persoalan krisis air bersih di Gili Trawangan dan Gili Meno.

Ia mengakui jika sampai saat ini air bersih dari PDAM KLU masih ada. Namun, yang dikhawatirkan Ketika penyaluran air bersih itu sudah disetop, maka otomatis pelaku usaha di Gili Trawangan dan Gili Meno bakal hancur. Diakui Vicky, ada alternatif dengan membeli air dari daratan. Hanya saja, biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha sangat besar. Ia mencontohkan, untuk membeli 1 tangki air bersih di darat dengan harga Rp500 ribu. Namun, biaya angkutan transportasi dan buruh dari daratan ke Gili Trawangan itu, membutuhkan biaya sekitar Rp4,5 juta, untuk 1 tangki air bersih. Di mana untuk 1 tangki air bersih itu membutuhkan empat kali angkutan, dan 1 kali angkut membutuhkan biaya Rp900 ribu, belum termasuk upah buruh dan lainnya.

“Bayangkan, untuk 1 hari saja, bagi hotel yang besar membutuhkan 3 tangki air bersih. Artinya harus mengeluarkan biaya Rp10 jutaan per hari. Kalau dikalikan 30 hari, sudah berapa ratus juta yang mesti dikeluarkan biaya, hanya untuk air bersih ini saja. Kami perlu merasakan tidak pasokan air selama lima pada Juni lalu,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Vicky, jika Gili Trawangan dan Gili Meno sudah rusak, karena persoalan krisis air yang tidak bisa diselesaikan oleh Pemerintah Daerah, maka untuk kembali membangun dan mendatangkan wisatawan ke Gili Tramena akan sangat berat. Terlebih lagi, jika itu wisatawan dari mancanegara, untuk menyiapkan libur, mereka membutuhkan waktu tiga bulan boking. Dan terbukti, karena persoalan krisis air bersih ini sudah menyebar kemana -mana di dunia internasional, banyak wisatawan dan travel agen membatalkan kunjungan mereka, yang sudah jauh hari direncanakan.  

“Jika sudah menyebar krisis air bersih di Gili Tramena, maka butuh waktu lama lagi untuk meyakinkan wisatawan. Tidak cukup hanya setahun. Dan dampaknya sudah pasti, pengangguran dan persoalasn kriminal. Terlebih lagi, lebih dari 70 persen pekerja di Gili itu berasal dari Lombok Utara,” ucapnya.

Ketua Gili Hotel Association (GHA) Lombok Utara yang juta ketua IHGMA NTB Lalu Kusnawan berharap Pemerintah Kabupaten Lombok Utara secepatnya memberikan kepastian dan solusi, serta memastikan ketersediaan air bersih di Gili Tramena bisa tetap seperti biasa.

“Tidak ada gunanya kia gencar promosi ke mana -mana, kalau persoalan air bersih di Gili Tramena ini bermasalah. Gili Trawangan itu pintu masuk wisatawan di NTB. Wisatawan mancanegara itu, kenalnya Gili Trawangan, bukan NTB. Sudah semestinya pemerintah daerah memberikan perhatian serius,” harapnya.

Sementara itu, Excomm IHGMA NTB yang juga GM Ayome Suite Mataram Dayu Apriawati mengatakan, dampak persoalan krisis air bersih di Gili Tramena, tidak hanya dirasakan oleh hotel dan restoran di tiga gili tersebut, tapi juga mulai berdampak ke hotel di Lombok, seperti di Kota Mataram. Ia menyebut, beberapa tamunya dari Belanda, membatalkan liburan ke Lombok, karena menganggap krisis air itu terjadi di Lombok.

“Jadi dampaknya tidak hanya di Gili Tramena. Tapi hotel di Kota Mataram juga merasakannya, karena tamu itu menganggap krisis air bersih di Gili itu juga terjadi di Lombok,” ungkapnya.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah daerah bisa secepatnya mencarikan Solusi agar air bersih di Gili Tramena itu tetap lancer, seperti biasa. Karena untuk membangun pariwisata itu sangat berat dan membutuhkan waktu lama untuk meyakinkan wisatawan mancanegara untuk berkunjung, ketika sudah terjadi yang tidak baik. (luk)