KPU Kabupaten Kota Jadi Adhoc Berimplikasi Luas

L. Aksar Anshori (Dok/Radar Lombok)

MATARAM—Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) penyelenggaraan pemilu yang sedang digodok DPR RI dan pemerintah, ada wacana KPU kabupaten kota menjadi lembaga adhoc seperti halnya dengan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).

Menanggapi hal tersebut, Ketua KPU Provinsi NTB, Lalu Aksar Anshori mengatakan, akan begitu luas implikasinya andai kebijakan KPU kabupaten kota menjadi lembaga bersifat adhoc atau sementara. Diantaranya, di masing-masing KPU kabupaten terdapat 1 jabatan ASN eselon III a dan 4 jabatan eselon IV a, ada sejumlah ASN organik KPU dan sebagian dari Pemda setempat.

Katanya, apabila nantinya menjadi adhoc maka tak bisa dibayangkan akan banyak ASN kehilangan jabatan. Jika ada 514 kabupaten kota di seluruh Indonesia, maka akan ada 514 jabatan eselon IIIa dan ada 2056 jabatan eselon IVa akan tidak jelas nasibnya.

[postingan number=3 tag=”politik”]

“Jika rata-rata ada 10 ASN organik di setiap kabupaten kota, maka ada 5.140 ASN tersebut akan ditarik ke KPU provinsi dan bahkan ke KPU RI, sehingga akan ada surplus ASN di setiap KPU provinsi,” katanya, kepada Radar Lombok, Selasa kemarin (4/4).

Belum lagi terkait keberadaan aset, kantor dan perlengkapan KPU kabupaten kota. Menurutnya, sebagian besar KPU kabupaten kota telah memiliki kantor sendiri, kendaraan dinas dan sejak Pemilu 2004 terdapat gudang, kotak suara dan bilik suara berbahan calvanis yang nilainya triliyunan masih terpelihara dengan baik bahkan masih bisa digunakan hingga 5 kali pemilu ke depannya. Ini juga termasuk jaringan telepon, internet, listrik, air dan sejumlah perangkat teknologi lainnya.   Andai nanti KPU kabupaten kota menjadi adhoc, siapa yang akan mengurus aset tersebut bila diserahkan ke KPU Provinsi.

Baca Juga :  Pemprov Serius Perhatikan Kabupaten/Kota

Bagi Aksar, setelah Pemilu 2019 akan ada lagi Pilkada 2020, Pilkada 2024 dan Pemilu 2024 yang juga akan membutuhkan logistik kotak suara, bilik suara serta gudang. Dikhawatirkan logistik tersebut tidak terurus bahkan rusak dan hilang karena tidak ada lagi yang mengelolanya sehingga bisa jadi beban anggaran Pemilu dan Pilkada selanjutnya.

Setiap pelaksanaan pemilu, ujung tombak pengelolaan dokumen hasil pemilu di TPS, PPS dan PPK adalah KPU kabupaten kota. Setiap waktu banyak pihak yang memanfaatkan data-data tersebut untuk riset, untuk pendidikan, untuk kebijakan pemerintah maupun untuk menyusun rencana strategis parpol menghadapi Pemilu dan Pilkada.

Apabila KPU Kabupaten Kota bersifat ad hoc, maka sejak dilantiknya hasil pemilu (Presiden, DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah), tugas anggota dan sekretariat KPU kabupaten kota akan berakhir dengan sendirinya. Sehingga tidak ada yang bisa menjamin bahwa dokumen hasil pemilu akan terpelihara dengan baik.

Baca Juga :  Penuhi Kekurangan Syarat Dukungan, Ali Masadi Telah Siapkan 30 Ribu KTP

“Meskipun nantinya tanggung jawab itu di KPU Provinsi maka tidak akan berjalan maksimal,” ungkap mantan ketua GP Ansor NTB tersebut.

Dia pun menambahkan, tugas KPU kabupaten kota tidak hanya pada saat tahapan pemilu, tapi juga pada hasil pemilu. Misalnya pada UU 17 tahun 2014 tentang MD3, penggantian antarwaktu anggota DPR kabupaten kota juga menjadi tugasnya.

Dalam UU Pilkada, KPU kabupaten kota juga menjadi pelaksana teknis dan regulatif pemilihan bupati dan wakil bupati serta pemilihan walikota dan wakil walikota. Jadi, ketika UU Penyelenggaraan Pemilu nantinya ditetapkan tapi di sisi lain
masih melekat tanggung jawab KPU kabupaten kota di dalam UU lain yaitu UU MD3 dan UU Pilkada.

Sehingga pihaknya berharap sebelum diputuskan harus arif dan bijak terhadap implikasi akan ditimbulkan hal tersebut. “Tapi apapun keputusan akhir disahkan RUU penyelenggara pemilu akan kita patuhi bersama,” pungkasnya. (yan)

Komentar Anda