TANJUNG – Tim Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan indikasi adanya dugaan pelanggaran dalam proses perizinan antara pemerintah dan pihak swasta sebagai penyedia air bersih di Gili Trawangan dan Gili Meno.
Temuan ini mengungkap anomali dalam pengelolaan sumber daya air yang tidak hanya memperburuk krisis air, tetapi juga menimbulkan potensi dugaan terjadinya korupsi.
“Kami menemukan adanya indikasi (dugaan) mens rea (niat jahat) dalam proses perizinan yang melibatkan berbagai pihak, baik di tingkat daerah maupun pusat. Praktik ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga menciptakan monopoli yang merugikan masyarakat dengan harga air yang tidak wajar dan pelayanan yang buruk,” kata Kepala Satgas Korsup Wilayah V KPK Dian Patria, Kamis (22/8).
Saat ini menurut pemda, ada dua penyedia air untuk tiga Gili. Gili Air mendapatkan pasokan air melalui Perumda Air Minum Amerta Dayan Gunung dengan pipa bawah laut. Sedangkan Gili Trawangan dan Gili Meno disuplai oleh pihak swasta (PT TCN).
Sebelumnya Gili Meno mendapat suplai dari pihak swasta lainnya (PT BAL), namun kini tengah mogok operasi karena tersandung masalah hukum. Di sisi lain, selama pendampingan lapangan di Gili, pada 17-18 Agustus 2024, Tim Korsup KPK menemukan situasi berbeda. Tempat pengeboran pipa bawah laut milik pihak swasta di Gili Trawangan telah disegel oleh Tim Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) karena belum mengantongi izin persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL).
Diduga pihak tersebut tetap melakukan aktivitas pengeboran secara diam-diam. “Di Gili Meno, pemda bilang izinnya sedang diurus buat portable reverse osmosis, tapi di lapangan sudah ada kegiatan. Berarti sama dengan kegiatan tanpa izin. Di Trawangan, diduga di lokasi yang sudah disegel pun mereka tetap bekerja. Jadi ada pelanggaran di atas pelanggaran. Dulu Kementerian PU mau bantu pasang pipa sampai Gili Trawangan, kenapa dihentikan? Dengan alasan suplai air sudah kerja sama dengan pihak swasta. Nah ini, apakah pemberian kontrak tersebut prudent atau ada konflik kepentingan di sana?” beber Dian.
Hal ini akhirnya membuat pelaku usaha dan masyarakat kembali kesulitan mendapat pasokan air bersih, hingga harus memesan air dari pedagang air isi ulang yang disuplai dari daratan Lombok. Tarif air yang tinggi, mencapai Rp 12.000 per galon, semakin menambah beban ekonomi masyarakat.
“Saat ini pemda memang mengirim 10-15 kubik air PDAM dengan tong-tong besar melalui boat. Tapi kapasitasnya tidak mencukupi dan itu hanya ditujukan untuk masyarakat menengah ke bawah,” bebernya
Koordinator Wilayah Kerja Gili Matra dari Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Marthanina juga menyoroti dampak lingkungan akibat pelanggaran perizinan ini. Terumbu karang di kawasan tersebut rusak akibat material lumpur bekas pengeboran pipa bawah laut.
“Permasalahan di Gili Trawangan ini adalah kerusakan ekosistem terumbu karang akibat pra-konstruksi pemasangan pipa dimaksud. Dari hasil pengendalian kami selama 2 kali memang sudah didapatkan kerusakan di pengendalian, yang pertama bulan Mei 2024 yaitu 1.660 meter persegi, sedangkan di pengendalian kedua pada bulan Juli 2024 kemarin kami dapatkan ada penambahan luas kerusakan akibat lumpur yang tidak dibersihkan menjadi 2.360 meter persegi,” jelas Marthanina.
Bahkan jika dilihat dari indeks kesehatan terumbu karang, lanjut Martina, juga mengalami penurunan yang signifikan. Dari nilai 38 persen dengan kategori kesehatan cukup baik, setelah adanya pengeboran oleh pihak swasta tersebut, indeks ini langsung menurun ke angka 2 persen. “Ini masuk kategori sangat buruk,” tutupnya. (der)