
MATARAM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memindahkan penahanan dua terdakwa korupsi pembangunan tempat evakuasi sementara (TES) atau shelter tsunami yang berada di Pemenang, Kabupaten Lombok Utara (KLU). Terdakwa masing-masing Aprialely Nirmala dan Agus Herijanto.
“Hari ini, resmi kami memindahkan dua orang terdakwa dalam perkara dugaan tipikor pembangunan shelter tsunami di NTB. Dua orang terdakwa yang kami pindahkan atas nama Aprialely Nirmala dan Agus Herijanto,” ungkap Jaksa Penuntut KPK Greafik Loserte, di Lapas Perempuan Kelas III Mataram, Selasa (21/1).
Keduanya diterbangkan dari Jakarta menuju NTB. Kedua terdakwa dan tim dari KPK tiba di Bandara Internasional Lombok, Selasa (21/1) siang. Dengan dikawal Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, para terdakwa dibawa ke Lapas Kelas IIA Kuripan, Lombok Barat (Lobar) dan Lapas Perempuan Kelas III Mataram.
KPK menitipkan penahanan Agus Herijanto di Lapas Kelas IIA Kuripan, Lobar, sedangkan terdakwa Aprialely Nirmala di Lapas Perempuan Kelas III Mataram.
Pantauan Radar Lombok, tim dari KPK dan Kejati NTB tiba di Lapas Perempuan Kelas III Mataram sekitar pukul 15.52 WITA. Terdakwa Aprialely Nirmala dibawa menggunakan mobil tahanan milik Kejati NTB. Tangan diborgol dan mengenakan rompi tahanan KPK. “Tempat penahanan ada dua. Satu di Lapas Kelas IIA Kuripan, Lobar dan di Lapas Perempuan Kelas III Mataram. Sebelumnya, kedua terdakwa ditahan di Rutan C1 KPK, Jakarta,” katanya.
Pemindahan penahanan kedua terdakwa berkaitan dengan proses sidang yang akan berlangsung di Pengadilan Tipikor Mataram. Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Mataram, sidang akan dilaksanakan Rabu (22/1).
“Untuk sidang, direncanakan besok (Rabu, 22/1) sesuai penetapan yang kami terima. Sidang digelar di Pengadilan Tipikor Mataram dengan agenda pembacaan dakwaan,” sebutnya.
Gedung TES atau shelter tsunami Lombok Utara ini merupakan proyek dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Realisasi pekerjaan dilaksanakan melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya NTB.
BNPB menyusun masterplan pengurangan risiko bencana tsunami. Dalam masterplan tersebut mencakup perencanaan kerja, di antaranya TES atau shelter, pengadaan alat peringatan dini bencana tsunami, edukasi dan pemberdayaan masyarakat, dan lainnya.
Dalam masterplan tersebut disebutkan bahwa tempat evakuasi sementara itu harus tahan terhadap gempa dengan kekuatan 9 skala richter (SR). “Jadi, tempat evakuasi sementara ini tujuannya adalah untuk tempat berlindungnya masyarakat ketika ada gempa dan tsunami,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers yang berlangsung di Jakarta, Desember lalu.
Direktur Penataan Pembangunan dan Lingkungan Kementerian PUPR NTB kemudian menyurati Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNPT) PBL Provinsi NTB untuk pelaksanaan pembangunan TES tersebut. “Dalam surat itu, meminta untuk segera melakukan pengadaan pengerjaan TES dengan pagu anggaran sebesar Rp 23,2 miliar. Ini (Rp 23,2 miliar) termasuk pengawasan dan pengelolaannya,” ucapnya.
Tersangka Aprialely Nirmala selaku PPK menyerahkan soft file DED (Detail Engineering Design). Namun ditolak, dengan alasan tersangka tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melaksanakan pembangunan gedung termasuk melakukan perubahan DED. Karena ditolak, tersangka Aprialely Nirmala meminta bantuan ke Bidang Cipta Karya Dinas PUPR NTB untuk mengubah detail DED tempat pembangunan TES yang bertempat di Bangsal, Kecamatan Pemenang, KLU tersebut. “AN selaku PPK tidak mengetahui landasan atau dasar ilmiah apa yang digunakan sebagai dasar perubahan DED tersebut,” jelasnya.
Selain melakukan perubahan desain, ternyata tersangka Aprialely Nirmala selaku PPK juga menurunkan spesifikasi tanpa kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Perubahan desain dan menurunkan spesifikasi yang dilakukan Aprialely Nirmala antara lain menghilangkan balok pengikat antar-kolom pada elevasi 5 meter. “Di mana, dalam dokumen perencanaan terdapat balok pengikat ke seluruh kolom pada pembangunan elevasi 5 meter. Namun ternyata diubah hanya mengikat di sekeliling bangunan saja,” terangnya.
Dikatakan, bangunan TES tersebut dirancang untuk menghadapi gempa 9 SR. Tapi kenyataannya, bangunan tersebut spesifikasinya malah diturunkan. Beberapa balok pengikat dihilangkan. “Selanjutnya juga mengurangi jumlah tulangan dalam kolom. Di mana, dalam perencanaan awalnya sebanyak 48 menjadi 40. Jadi hilang 8 tulangan. Jelas, ini kan mempengaruhi daya tahan dalam bangunan tersebut,” katanya.
Kemudian mengubah mutu beton dari perencanaan awal, dari K275 menjadi K225. Selain itu, dalam perubahan gambar DED tersebut, tidak digambarkan balok ram jalur evakuasi yang menghubungkan antar-lantai, sesuai dengan gambar pra-desain yang terdapat dalam laporan akhir perencanaan. “Kondisi tersebut menyebabkan kekuatan ram terlalu kecil dan kondisi ram hancur pada saat terjadi gempa berikutnya yang tidak sampai 9 SR, tetapi ram ini sudah hancur,” ucap dia.
Gedung TES atau shelter tersebut selesai dibangun dan pada 16 Juli 2017, proyek gedung dengan daya tampung sekitar 3.000 orang ini telah diserahterimakan ke Pemda Lombok Utara. Namun, pada akhir bulan Juli 2018 lalu, NTB diguncang gempa berkekuatan 6,4 SR. Kemudian pada 5 Agustus 2018 terjadi gempa lagi berkekuatan 7 SR.
“Kondisi shelter rusak berat dan tidak bisa digunakan. Seharusnya ini menampung kuat (gempa) di 9 SR, tapi ini dua kali 6,4 dan 7 SR dan itu bangunannya sudah ada yang rusak berat. Termasuk ramnya juga roboh, yang merupakan penghubung antara lantai 1 dan 2,” katanya.
Hasil penelitian ahli fisik dari ITB menyatakan bangunan gedung shelter tsunami yang dibangun oleh satuan kerja penataan bangunan dan lingkungan kegiatan pelaksana PBL Provinsi NTB gagal. “Pembangunan TES atau shelter itu belum memenuhi tujuan perencanaan yang telah ditetapkan, yaitu terwujudnya bangunan TES yang dapat memberikan perlindungan terhadap warga dari dampak tsunami yang harus diwujudkan pada tahun 2013-2018 guna menyelamatkan masyarakat dari bahaya tsunami karena gagalnya pembangunan,” jelasnya.
Bangunan tersebut gagal dan tidak layak. Dan tidak sesuai dengan perencanaan. “Gedung TES sejak diselesaikan pembangunannya tidak dapat digunakan. Jadi, sejak dibangun sampai hari ini tidak pernah digunakan. Dan sudah hancur dan rusak. Kondisinya sampai hari ini terbengkalai,” katanya.
BPKP yang digandeng dalam menghitung kerugian negara mengatakan telah terjadi penyimpangan dalam pembangunan shelter tsunami tersebut. “Telah terjadi penyimpangan dan mengakibatkan kerugian negara Rp 18,4 miliar,” tegasnya.
Kedua tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (sid)