MATARAM – Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan, Provinsi NTB sejak tahun 2024 hingga 2025, tercatat sebanyak 976 kasus kekerasan seksual, dengan sebagian besar kasus terjadi di lingkungan pendidikan berbasis agama seperti pesantren dan sekolah berasrama.
“(Sebanyak) 976 kasus itu datang dari lingkungan sekolah berasrama, termasuk pesantren. Ini berdasarkan pengalaman pengaduan langsung ke Komnas Perempuan,” ungkap Ketua Komisi Paripurna Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor di Mataram, kemarin.
Fenomena ini menjadi perhatian serius karena mencerminkan adanya kegagalan sistemik dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman bagi anak-anak, khususnya perempuan. Bahkan Komnas Perempuan mencurigai adanya kasus-kasus yang tidak terungkap karena kuatnya upaya institusi untuk menutup-nutupi kasus demi menjaga nama baik lembaga.
Menurut Maria Ulfah, pesantren dan sekolah-sekolah berasrama menjadi lokasi yang paling banyak dilaporkan terjadi kekerasan seksual. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan, serta paradigma keliru yang lebih mengutamakan nama baik lembaga ketimbang perlindungan terhadap korban.
“Kita perlu bertanya, apakah lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi, sudah aman dari kekerasan? Apakah Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) benar-benar menjalankan mandatnya?” tegas Maria.
Komnas Perempuan pun menyatakan telah turun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data faktual, mendengarkan langsung testimoni para korban, dan mengevaluasi proses hukum yang berjalan mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga peradilan. Tujuannya agar hak-hak korban, termasuk pemulihan psikologis dan jaminan keamanan, benar-benar terpenuhi.
Secara nasional, kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Pada tahun 2024, tercatat 330.097 kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Naiknya angka ini dipandang sebagai indikator bahwa semakin banyak korban yang berani melapor, sekaligus menunjukkan adanya perbaikan sistem pendokumentasian di lembaga layanan.
Untuk NTB sendiri, Komnas Perempuan mencatat 13 kasus di ranah personal seperti KDRT dan kekerasan dalam pacaran. Kemudian ada 8 kasus di ruang publik. Dan 1 kasus melibatkan institusi negara. Sementara dari data pengadilan yang dikumpulkan Komnas Perempuan, terdapat 6.593 putusan yang menunjukkan adanya kekerasan berbasis gender, dengan 14 rumpun persoalan yang membuka peluang kekerasan terhadap perempuan.
Di Pulau Lombok, kasus paling menonjol ditemukan di sejumlah pondok pesantren. Misalnya di Lombok Barat, pesantren NW Nabi Nubuh yang beroperasi sejak 2016 dilaporkan tetap berjalan meski mencuat dugaan kekerasan seksual di dalamnya.
Laporan media juga menyebutkan adanya 29 santriwati korban di Sumbawa dan sejumlah kasus lainnya di Lombok Timur. “Jika pelakunya dari lembaga, biasanya korbannya lebih dari satu. Bisa puluhan,” ungkap Maria Ulfah.
Salah satu kasus terbaru bahkan mencatat 41 korban, disusul dengan laporan baru yang mengungkap adanya 31 korban tambahan. Artinya, jika diselidiki lebih dalam sejak awal berdirinya pesantren, sangat mungkin ditemukan korban baru di setiap angkatan.
Maria Ulfah menekankan perlunya perubahan cara pandang lembaga pendidikan terhadap kekerasan seksual. “Menutupi kasus bukanlah menyelamatkan nama baik institusi, tapi justru melindungi pelaku. Lembaga yang beradab adalah yang mau membongkar kasus dan menyelesaikannya,” katanya tegas.
Komnas Perempusn juga menyoroti bahwa tidak ada mediasi dalam kasus kekerasan seksual. Karena ini adalah pidana murni, maka harus diproses hukum. Tindakan menutupi kasus justru memperburuk citra lembaga dan memperpanjang penderitaan korban.
Komnas Perempuan juga menuntut Kementerian Agama (Kemenag) untuk lebih tegas dalam melakukan pengawasan terhadap pondok pesantren. Sebab, lembaga inilah yang menerbitkan izin operasional bagi satuan pendidikan berbasis agama. “Kalau sudah terbukti pelaku bersalah dan ditahan, maka Kemenag harus mencabut izin operasional pesantren tersebut,” kata Maria.
Menurutnya, Kemenag telah memiliki regulasi jelas, yakni Peraturan Menteri Agama tentang Pencegahan, Penanganan, dan Pemulihan Kekerasan Seksual di satuan pendidikan. Maka tidak ada alasan lagi bagi Kemenag untuk lepas tangan dengan dalih bukan wewenangnya. “Siapa yang bertanggung jawab menjamin anak-anak di pesantren aman dari kekerasan, kalau bukan Kemenag?” jelas Maria.
Komnas Perempuan akan terus memantau dan menganalisis kasus-kasus kekerasan seksual di NTB, terutama yang terjadi di lingkungan pesantren dan lembaga pendidikan berbasis agama. Dalam waktu dekat, pihaknya akan merilis rekomendasi resmi kepada instansi terkait termasuk Pemprov NTB, Kemenag, aparat penegak hukum, dan lembaga pendidikan.
Terkait itu Pemerintah Provinsi NTB bersama Komnas Perempuan telah menggelar pertemuan strategis untuk memperkuat perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan, khususnya di lingkungan pondok pesantren. Pertemuan berlangsung di ruang kerja Wakil Gubernur NTB.
Dalam dialog tersebut, Wakil Gubernur NTB menegaskan komitmen Pemerintah Provinsi untuk menangani berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan di lingkungan lembaga pendidikan, termasuk pesantren, yang selama ini menjadi pilar penting dalam membangun karakter generasi muda.
“Di tengah upaya membangun NTB, kita patut bersyukur atas tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan yang berkualitas. Namun tidak bisa kita pungkiri, ada tantangan yang juga muncul, salah satunya adalah kasus pelecehan dan kekerasan yang kerap terjadi dan dilaporkan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya koordinasi yang berkelanjutan dan evaluasi terhadap sistem perlindungan yang sudah berjalan. Menurutnya, pengungkapan kasus kekerasan tidak selalu mudah, terutama ketika melibatkan tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh kuat di komunitas.
Sebagai bagian dari langkah konkret, Pemprov NTB menyatakan siap memperkuat koordinasi lintas sektor, termasuk dengan pemerintah kabupaten/kota dan Kantor Kementerian Agama setempat, terutama di wilayah dengan tingkat kerentanan yang tinggi. “Pemerintah provinsi berkomitmen membentuk sistem rujukan bersama untuk menangani kasus-kasus ini secara lebih terstruktur dan responsif,” tambahnya. (rat)