Ketika “Program Stunting Tak Jadi Prioritas Desa”

MENGAJI: Muhammad Bilal Akbar (paling kanan) bersama kakak dan teman-temannya di Dusun Karang Bongkot, Desa Karang Bongkot, Kecamatan Labuapi, Kabupaten Lombok Barat, berjalan menuju tempat pengajian, pada September 2022. (ZULKIFLI/RADAR LOMBOK)

Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) sudah mengeluarkan Peraturan Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2022. Di antaranya untuk penanganan stunting. Sayangnya, ketaatan desa dengan aturan itu, tak seperti yang diharapkan. Akibatnya, data stunting masih saja tetap tinggi.

ZULKIFLI-LOMBOK BARAT

Azan Magrib berkumandang. Anak-anak bergegas turunkan layangan. Satu per satu berlarian pulang. Ada juga dengan langkah pelan. Di depan rumah, ibu menunggu, menyuruh mandi berganti pakaian. Lalu sembahyang mengaji Al-Quran.

Di teras rumah seorang guru, di pinggir jalan kabupaten itu, mereka mengaji, melantunkan Iqro dan Al-Quran. Suara mereka melengking. Terdengar jelas dari kejauhan. Di antara yang suaranya melengking itu adalah Muhammad Bilal Akbar, balita kecil yang didiagnosis stunting.

Saat diukur 18 Agustus 2022 atau saat berusia 4 tahun 4 bulan 3 hari, berat badan Bilal hanya 9,5 kg. Berdasarkan tabel berat badan menurut umur (BB/U) pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri, berat 9,5 kg ini tergolong sangat kurang (normal 13,2-19,4 kg). Tingginya juga hanya 79,1 cm. Berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U), tergolong sangat pendek (normal 96,9-118,6 cm)

Putra pasangan Munawar dan Seperah di Dusun Karang Bongkot, Desa Karang Bongkot, Kecamatan Labuapi, Kabupaten Lombok Barat ini, sudah masuk data stunting Puskesmas Perampuan sejak Agustus 2019 atau saat Bilal masih berusia 4 bulan dengan berat 5,5 kg atau tergolong kurang berdasarkan BB/U (normal 5,6-7,8 kg) dan panjang 54,3 cm atau tergolong sangat pendek berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) (normal 59,7-70,1 cm).

Potensi balita kelahiran 15 April 2019 ini menjadi stunting, memang sudah terlihat dari tanda-tanda awal 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Saat mengandung di usia 30 tahun, Seperah mengalami kekurangan energi kronis (KEK). Lingkar lengan atasnya (LILa) hanya 23 cm (normal 23,5 cm).

Dengan status ibu KEK, Seperah mengaku tak pernah mendapatkan intervensi serius dari Puskesmas Perampuan maupun Pemerintah Desa Karang Bongkot, baik pemberian makanan tambahan (PMT) ibu hamil maupun kelas ibu hamil. Hanya mendapatkan 10 tablet penambah darah saat pemeriksaan rutin di posyandu.

Ibu rumah tangga yang hanya tamat SD ini mengaku tak tahu apa penyebab dirinya KEK. Namun ia mengaku tak suka mengonsumsi protein hewani seperti daging sapi, kambing, ayam maupun ikan. Telur juga kurang suka. Hanya sesekali saja. “Sejak kecil tidak suka makan daging, termasuk ikan. Kalau ikan kecil-kecil, bisa sedikit,” tambahnya.

Diketahui, daging, ikan dan telur sangat penting dikonsumsi ibu hamil dan balita pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Bahkan menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA, daging, ikan, dan telur merupakan protein hewani yang mengandung asam amino esensial yang sangat penting dikonsumsi untuk mencegah stunting. Berdasarkan penelitian, kandungan asam amino anak stunting jauh lebih rendah dibanding anak yang tidak stunting.

Kemudian untuk susu ibu hamil sebagai penambah gizi karena tak mengonsumsi daging, Seperah mengaku bisa mengonsumsinya. Hanya saja harganya lumayan mahal, sehingga saat itu hanya terbeli satu kotak. Selebihnya tidak pernah lagi. Kalau saja ada PMT ibu hamil, tentu dirinya berharap ada susu untuk menambah gizi yang tak tercukupi.

Delapan bulan mengandung, Seperah pun melahirkan anak keduanya itu secara normal di Rumah Sakit Patut Patuh Patju, Gerung, Lombok Barat. Bayinya lahir dengan berat 2,17 kg (normal 2,5 kg). Kondisi bayi berat lahir rendah (BBLR) itu mengharuskan masuk ruang neonatal intensive care unit (NICU) atau ruang perawatan intensif untuk bayi selama seminggu.

Seperah memiliki Kartu BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI), sehingga tidak perlu membayar persalinan. Bilal pun bergegas dibuatkan BPJS Kesehatan PBI sementara di Dinas Sosial Lombok Barat, sehingga tak harus membayar biaya di NICU.

Memiliki Kartu BPJS Kesehatan PBI lanjutnya memang agak mengkhawatirkan, karena tidak ada pemberitahuan ketika pemerintah menonaktifkan. Untuk itu harus rutin dicek di Puskesmas Perampuan, agar jangan sampai ketika digunakan malah nonaktif.

Adapun untuk membuat BPJS mandiri tidak memungkinkan, karena penghasilan sehari-hari suaminya sebagai pedagang cilok hanya sanggup untuk makan dan bayar setoran bank keliling. “Kondisi kita seperti ini, tetapi tidak pernah dapat PKH (program keluarga harapan) dan BPNT (bantuan pangan nontunai),” bebernya.

Untuk pertumbuhan Bilal diakuinya memang terganggu, baik dari segi berat maupun tinggi. Bilal mengonsumsi ASI sampai 6 bulan. Namun dikarenakan dirinya tidak mengonsumsi protein hewani, kemungkinan membuat kandungan gizi ASI-nya berkurang, sehingga mengganggu tumbuh kembang anaknya itu. Tetapi berbeda dengan anaknya, Bilal justru bisa mengonsumsi daging, ikan dan telur. Tetapi yang rutin itu telur, karena murah.

Di posyandu juga kerap mendapatkan sirup multivitamin Solvita dari Puskesmas, tetapi tidak pernah dikonsumsi. Alasannya, Bilal tidak suka dengan sirup. Sehingga multivitamin yang ada, hanya jadi pajangan di atas meja.

Untuk PMT diakuinya ada, tetapi sekadar PMT rutin posyandu. Agustus lalu dapat 2 pisang kepok kecil yang kulitnya menghitam dan dua potong biskuit. Sementara PMT stunting tak ada sama sekali. Padahal kabarnya anggaran itu ada di desa, tetapi tak pernah direalisasikan.

Penulusuran Radar Lombok di Pemerintah Desa Karang Bongkot, anggaran PMT stunting memang ada dan tetap dianggarkan ketika menjadi program wajib dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Sayangnya tak direalisasikan. Pada 2021 misalnya, dianggarkan PMT stunting untuk 28 anak selama tiga bulan. Per bulan mendapatkan paket PMT Rp 150 ribu atau Rp 5.000 per hari. Total ada 84 paket dengan anggaran Rp 12.600.000.

Adapun soal tak direalisasikannya PMT stunting ini diakui oleh Pendamping Posyandu yang juga Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) Karang Bongkot, Haeranah. Ia tak merincikan detail alasan kenapa tak direalisasi, padahal anggaran di desa ada. “Tidak ada dibagi tahun kemarin. Insyaallah tahun ini kata pihak desa akan dibagi,” jelasnya.

Sementara itu, salah satu kader posyandu mengaku tidak tahu kalau di desa ada dana PMT stunting. Kalau ada, mungkin akan diupayakan untuk dibagi. Tetapi masalahnya, pembagian PMT posyandu rutin setiap bulan saja susah untuk dibagi. Harus mengeluarkan uang pribadi dahulu, baru nanti diganti setiap triwulan. Ini berkaitan dengan dana desa yang juga cair tak setiap bulan dari kabupaten. “Kasihan juga sama anak-anak stunting ini. Tidak ada bantuan,” ungkap kader yang tak berani disebut nama ini.

Sekretaris Desa Karang Bongkot Kaharudin mengakui bahwa anggaran PMT stunting tak direalisasikan. Alasannya, tak ada kader yang mau mengurus itu ke desa, sehingga terlewatkan dan menjadi sisa lebih penggunaan anggaran (SILPA). Di samping data stunting yang ada juga tak diserahkan ke pihak desa, melainkan ke Puskesmas saja.

Namun insyaalah kata mantan pendamping lokal desa ini, PMT stunting dengan anggaran yang sama akan direalisasi tahun ini. Berhubung saat ini juga sudah ada petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) dari kabupaten yang akan membantu dalam pemberian PMT stunting, baik dari pengaturan menu maupun konseling gizi. “Jadi kemarin itu tidak ada yang mengurus, tidak ada yang bergerak. Tahun ini kita akan jalan. Sosialisasi awal sudah kita lakukan di beberapa dusun,” terangnya didampingi Kepala Desa Karang Bongkot H. Saimi.

Diketahui, jumlah balita stunting Desa Karang Bongkot, masih berada di atas rata-rata data stunting 6 desa yang ditangani Puskesmas Perampuan. Per Februari 2022, jumlah balita stunting Desa Karang Bongkot 16 persen atau 115 dari 713 balita yang diukur. Sementara rata-rata stunting 6 desa sebesar 14,7 persen atau 521 dari 3.550 balita yang diukur.

Dengan 115 balita yang masuk data stunting tambah Kaharudin, jelas tidak bisa tertangani semua. Anggarannya hanya untuk 28 balita selama tiga bulan. Jumlah 28 balita ini sendiri berdasarkan asumsi setiap tahunnya. Namun ternyata, jumlah riil stunting empat kali lipatnya.

Cara mengakali pembagian PMT stunting akan dicari kategori balita berat sangat kurang dan tinggi sangat pendek, serta tentunya miskin. Tetapi itupun kemungkinan belum bisa menangani semua.

Adapun sisa balita stunting yang tak bisa ditangani tahun ini lanjut Kaharudin, akan diupayakan pada tahun anggaran berikutnya. Artinya penganggaran tahun berikutnya berdasarkan data riil stunting di lapangan, bukan lagi asumsi.

Intervensi penanganan stunting pemerintah desa, tampak lebih baik di Desa Kuranji Dalang, Kecamatan Labuapi, Kabupaten Lombok Barat. Program penanganan stunting berjalan, mulai dari posyandu rutin, PMT ibu hamil, PMT posyandu, PMT stunting, dan lainnya. Entah efektif atau tidak, yang jelas angka stuntingnya jauh lebih rendah dibanding Desa Karang Bongkot.

Per Februari 2022, jumlah balita stunting Desa Kuranji Dalang sebesar 12,8 persen atau 29 dari 226 balita yang diukur. Angkanya di bawah rata-rata stunting 6 desa di wilayah Puskesmas Perampuan. Tetapi angka 12,8 persen ini juga masih menjadi tanda tanya, kenapa di desa nelayan ini masih ada stunting. Padahal ikan melimpah untuk dikonsumsi.

Di Dusun Kuranji Bangsal sendiri ada balita bernama Haerul Azmi. Pada umur 3 tahun 9 bulan, beratnya 13,6 kg atau tergolong normal berdasarkan BB/U (normal 12,4-18 kg). Tingginya 88,7 cm atau tergolong sangat pendek berdasarkan TB/U (normal 93,5-113,9 cm).

Sakmah, ibunya Haerul Azmi mengaku selama kehamilan dirinya tidak mengalami KEK. LILa 27 cm, normal. Saat lahiran juga normal dibantu bidan. Berat lahir 3,1 kg. Selama dua tahun juga diberikan ASI.

Namun diakuinya, saat mulai mengonsumsi makanan pendamping (MP) ASI di usia 6 bulan, anak keduanya ini tidak pernah suka dengan ikan. Lebih suka makanan instan seperti mi atau nasi dengan lauk yang jarang mengandung protein. “Saya juga heran pak, kakaknya suka ikan, makan harus ikan. Adiknya ini yang tidak mau. Mungkin karena itu dia masuk stunting,” ujar perempuan 30 tahun yang hanya tamat SD ini.

Tetapi untungnya kata dia, dari pihak desa tetap ada PMT stunting. Diberikan telur, buah, vitamin, abon ikan, dan lainnya. Sedikit tidak membantu tumbuh kembang anaknya, sehingga meski sangat pendek, namun beratnya masih tergolong normal. “Jadi diakali oleh kader, karena tidak suka ikan, dikasi abon ikan. Kalau abon ikan, mau dia makan,” bebernya.

Kondisi keluarga lanjutnya, tergolong miskin. Suami saat ini tidak lagi menjadi nelayan. Melainkan tukang bangunan serabutan yang proyeknya tidak setiap hari ada. Untuk itu Sakmah sangat berharap mendapatkan bantuan PKH dan BPNT. “Dari dulu tidak pernah dapat. BPJS anak saya yang stunting ini juga belum ada,” jelasnya.

Kepala Seksi Pelayanan Desa Kuranji Dalang Misnah mengaku, kesehatan khususnya stunting memang menjadi fokus Desa Kuranji Dalang. Jumlah balita stunting diakui masih 29. Namun yang dianggarkan PMT stunting hanya 23 balita, yang memang betul-betul miskin dan prioritas yang masih di bawah 24 bulan.

Anggaran PMT stunting itu per hari Rp 7.000 diberikan selama tiga bulan atau 90 hari. Per bulan dianggarkan Rp 210 ribu. Dengan uang itu, bisa dibelikan telur ayam, abon ikan, susu, vitamin, buah, dan lainnya, tergantung permintaan dari keluarga yang anaknya stunting. “Kita berikan per hari. Dipantau langsung oleh kadernya,” ujar Misnah.

Kemudian bagi ibu hamil yang terpantau KEK juga dianggarkan PMT selama 9 bulan dengan total anggaran Rp 9.030.000. Dengan anggaran sebesar itu bisa dibelanjakan susu fomula ibu hamil untuk menambah gizi. Kemudian telur, kacang ijo, dan lainnya. “Menu tergantung juga dari permintaan, yang penting tetap bergizi,” jelasnya.

KPMD Kuranji Dalang Haeriah menambahkan, menu diakui memang tidak bisa dipatok. Kadang jika langsung dibawakan susu, tidak diminum. Alasannya tidak suka susu. Maka diperbanyaklah makanan bergizi lain seperti telur. “Jangan sampai mubazir pak. Kita tanya dulu, bisa tidak makanan ini. Kalau tidak bisa, kita tawarkan makanan bergizi lainnya, baru kita bawakan,” terangnya.

Selain itu lanjut Haeriah, bantuan yang diberikan terkadang ada saja yang dijual, maka solusinya tidak langsung diberikan sepaket, melainkan bertahap hampir setiap hari. Begitu ada laporan PMT stunting habis, langsung dibawakan. “Kita pantau betul pak, harus benar-benar dimakan oleh anaknya. Jangan sampai dijual,” terangnya.

Dengan intervensi balita stunting, termasuk ibu hamil KEK, terbukti sekarang data jumlah balita stunting di Desa Kuranji Dalang menurun.  Agustus 2020 sebanyak 42, Februari 2021 sebanyak 37, Agustus 2021 sebanyak 36, dan Februari 2022 sebanyak 29. “Terus menurun pak. Alhamdulilah. PMT ini jadi motivasi orang tua. Bahkan ada orang tua yang anaknya mau jadi stunting, saking pengin dapat PMT. Kalau untuk yang anaknya belum punya BPJS, kemarin kita diminta Puskesmas untuk mendata,” jelasnya.

Tetapi diakui Haeriah, penanganan stunting ini sulit jika hanya mengandalkan desa atau kader. Harus ada kerja sama dari orang tua. Baik terhadap pola asuh mapun makanan sehari-harinya. Orang tua yang anaknya stunting kadang tidak peduli dalam memberikan MP ASI, suka yang instan seperti snack, mi dan lainnya. Padahal cara pembuatan MP ASI juga tidak bosan-bosannya diajarkan.

Ditemui di ruang kerjanya, Kepala Puskesmas Perampuan Rosmayadi tidak terlalu khawatir dengan jumlah balita stunting 6 desa yang ditangani. Sebanyak 14,7 persen atau 521 dari 3.550 balita yang diukur per Februari 2022. Jauh lebih rendah dibanding prevalensi stunting tingkat Kabupaten Lombok Barat yang masih bertengger di angka 20,73 persen.

Namun diakuinya, data-data dimaksud hanya rekapan data stunting di setiap desa yang ditangani puskesmas. Lalu di tingkat kabupaten dirata-ratakan sehingga menjadi data Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat Elektronik (E-PPGBM). Sementara yang menjadi acuan nasional itu adalah data studi status gizi nasional (SSGI). Sehingga sangat mungkin data E-PPGBM dan SSGI berbeda.

Adapun soal temuan Radar Lombok bahwa tidak semua desa menganggarkan PMT ibu hamil KEK, dan ada yang menganggarkan PMT stunting tetapi tak pernah direalisasi, Rosmayadi kaget, setengah tak percaya. “Masa ada desa seperti itu? Setahu saya semua desa menganggarkan dan direalisasikan. Tetapi nanti coba saya komunikasikan lagi,” terangnya.

Dijelaskannya, stunting ini erat kaitan dengan status gizi masa lalu. Artinya penanganan seharusnya dari remaja. Untuk itu perlu digalakkan posyandu kelurga, yang pesertanya tidak hanya balita, tetapi juga remaja dan lansia. Dari remaja, akan dideteksi mana yang kurang gizi atau anemia, sehingga bisa diberikan obat penambah darah atau intervensi lain, sebelumnya akhirnya menikah. Kemudian sebelum menikah, mendapatkan imunisasi tetanus toksoid (TT), diperiksa HIV, serta konseling. Jika semua aman, baru dipersilakan menikah.

Lalu pada saat hamil mengikuti posyandu. Jika LILa kurang dari 23,5 cm, maka masuk kategori KEK. Kadar hemoglobin (HB) juga dicek. Kurang dari 11, maka perlu rutin meminum obat penambah darah sesuai anjuran bidan. “Dan ada juga kelas hamil. Mereka yang KEK ini kita pastikan harus ikut, trimester kedua, ketiga. Dan ada pemberian PMT ibu hamil dari desa selama tiga bulan. Per hari Rp 10 ribu. Tapi kok bisa lolos ya (PMT ibu hamil),” heranya.

Begitu juga nanti saat anak itu lahir. Jika stunting atau gizi kurang, diprioritaskan mengikuti kelas ibu dan anak yang diselenggarakan puskesmas. Dan anak stunting itu seharusnya juga mendapatkan PMT stunting selama tiga bulan, per hari Rp 10 ribu. “Kurang dari itu ya tidak sesuai standar,” terangnya.

Kemudian yang tak kalah penting juga alat kontrasepsi. Ada jarak kehamilan. Jangan sampai begitu melahirkan, lalu sebulan kemudian hamil lagi. “Ini bisa menjadi pemicu stunting. Anak yang seharusnya mendapatkan perhatian di 1.000 HPK, malah terbagi dengan adiknya,” pungkasnya.

Menanggapi belum maksimalnya penganggaran dan realisasi penanganan stunting di desa, Kepala Dinas Kesehatan Lombok Barat Arief Suryawirawan mengaku, memang perlu dilakukan koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan pihak desa. Apalagi Dinas Kesehatan sama sekali tidak diikutkan dalam evaluasi APBDes, terkait ada tidaknya penganggaran dan realisasi penanganan stunting.

Arief mengaku sudah berkomunikasi dengan Asosiasi Kepala Desa Lombok Barat (Lobar) agar bisa bekerja sama menurunkan angka stunting. “Kita akan coba carikan konsepnya seperti apa. Supaya jelas tupoksinya. Desa mengerjakan apa, dinas mengerjakan apa. Ini yang sedang coba kami bahas di Dinas Kesehatan, supaya intervensi stunting lebih mengena,” jelasnya.

Terlebih Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid meminta agar stunting ini jelas data dan alamatnya di masing-masing dusun, sehingga intervensinya langsung ke sasaran. Apalagi ada program PMT stunting dari Kementerian Kesehatan untuk Lombok Barat dan Lombok Utara pada akhir tahun ini.

Dan untuk realisasi PMT dari Kementerian Kesehatan itu lanjut Arief, perlu dukungan pemerintah desa dalam membantu pendistribusian, karena anggaran yang diberikan hanya untuk PMT, sementara pendistribusian ke sasaran tidak ada. “Nanti PMT siap saji itu disiapkan di desa, dan desa membantu mendistribusikan,” pungkasnya. (*)

Komentar Anda