MATARAM – Setelah melalui proses yang cukup panjang, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB akhirnya menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan gedung Asrama Haji Embarkasi Lombok.
Kepala Kejaksaan Tinggi NTB, Nanang Sigit Yulianto mengatakan pihaknya telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini. Dimana tersangka terssebut yaitu kepala UPT Asrama Haji Embarkasi Lombok berinisial AAF dan bendaharanya berinisial IJS. “Keduanya ditetapkan tersangka kemarin usai gelar perkara,”kata Sigit, Selasa (21/7).
Dijelaskan Sigit, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.59 tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama, pada Unit Pelaksanan Teknis (UPT) Asrama Haji Embarkasi Lombok terdapat sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yaitu penyewaan area manasik, penyewaan penginapan, penyewaan aula, dan sumber lainnya seperti penyewaan area untuk pendirian stand, fotografi, dan penyewaan sarana berdasarkan perjanjian kerja sama. Tahun 2019 lalu, UPT Asrama Haji Embarkasi Lombok meraih pendapatan yaitu Rp 1.471.504.279. Namun dari dana tersebut tidak semuanya disetorkan ke kas negara. Yang disetorkan hanya Rp 987.476.728. “Atas hal itu maka terdapat selisih dana yang belum disetorkan ke kas negara yang jumlahnya Rp 484.027.551,”bebernya.
Dana tersebut menurut Sigit telah dipergunakan oleh tersangka AAF untuk kepentingan pribadinya sebesar 209.626.406. Kemudian tersangka IJS untuk kepentingan pribadinya sebesar Rp 217.032.454 dan Rp 57.368.591 untuk kepentingan biaya operasional kantor. “Selebihnya dipergunakan untuk kepentingan pribadinya IJS,”ucap Sigit.
Perbuatan tersangka yang tidak menyetorkan seluruh pendapatan negara bukan pajak tersebut kata Sigit, bertentangan dengan Undang-undang RI Nomer 9 tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dimana pada pasal 29 menerangkan bahwa seluruh PNBP harus disetor ke kas negara. Selain itu perbuatan tersangka juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan RI No 3/PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyetoran PNBP. Dimana dalam pasal 2 menyebutkan bahwa seluruh PNBP wajib disetor secepatnya ke kas negara. ”Tersangka belum kita tahan,”ucapnya.
Terkait alasan tersangka belum ditahan, Nanang enggan merincikannya secara jelas karena memang itu adalah kewenangan dari penyidik. “Penyidik punya pertimbangan sendiri,”lanjutnya.
Sebelumnya kasus ini menjadi penanganan Kejati NTB karena adanya laporan dari masyarakat atas dasar adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTB. BPK menemukan adanya kelebihan pembayaran atas pekerjaan rehabilitasi gedung pada UPT Asrama Haji Embarkasi Lombok Rp 1.170.816.830. Seperti rehabilitasi gedung untuk hotel dengan temuan Rp 373.115.542, gedung Mina Rp 235.957.012, gedung Safa Rp 242.920.236, gedung Arofah Rp 290.602.840, serta gedung PIH Rp 28.602.840. Penyidik kemudian melakukan penyelidikan. Temuan penyidik nilai kerugian keuangan dalam kasus ini sekitar Rp 1,2 Miliar.
Hanya saja dalam perjalanannya yang lebih dulu menjadi fokus penyidik adalah kasus dugaan korupsi pengelolaan asrama haji tersebut. Alasan pihak kejaksaan karena kasus tersebut yang lebih dulu bisa dibuktikan perbuatan melawan hukumnya. “Meski begitu bukan berarti yang ini tidak ditindaklanjuti. Itu tetap dikembangkan,”tutupnya. (der)