PRAYA-Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB, terhadap proyek rumah potong hewan (RPH) Barabali Kecamatan Batukliang Lombok Tengah, ternyata jauh dari harapan.
Hal ini disesalkan Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Feri Mupahir. Dia mengaku kecewa dengan hasil audit BPKP terhadap dugaan korupsi proyek tersebut. Hasil auditnya jauh lebih rendah dibandingkan hasil hitungan Dinas Pekerjaan Umum dan Energi Sumber Daya Mineral (PUESDM) Lombok Tengah. Setelah diteliti, ternyata hasil ini tak menghitung semua item yang dibutuhkan pihaknya.
Salah satunya masalah manfaat dari bangunan tersebut yang mangkrak selama dua tahun lebih. Asas manfaat ini sama sekali tidak dimasukkan BPKP selalu lembaga yang dipercaya menghitung keuangan negara. ‘’Hasil BPKP itu hanya Rp 163 juta kerugian negara. Sedangkan PUESDM Rp 164 juta, bagaimana kita tidak jengkel,’’ kesal Feri, kemarin (2/9).
Karenanya, Feri mengaku kemungkinan tidak akan menggunakan hasil hitungan BPKP tersebut. Pihaknya kemungkinan akan menggunakan hasil hitungan Dinas PUESDM untuk dilampirkan dalam berkas dakwan kasus tersebut. Pihaknya juga akan mempertimbangkan untuk melampirkan asas manfaat dari pembangunan proyek yang sudah mangkrak dua tahun itu. ‘’Kemungkinan kita akan pakai cara lain saja,’’ tandasnya.
Diketahui, Kejari Praya telah menetapkan empat orang tersangka dalam kasus ini. Yaitu Kabid Keswan Dinas Peternakan dan Kesehatan (Disnakeswan) Provinsi NTB, dr Erwin K (EK) yang bertindak selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Kemudian Konsultan Pengawas PT Eksakta, Lalu Kusnadi Wirahadi (LKW), Kontraktor CV Anggita MY dan satunya lagi LI. Keempatnya ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat perintah (sprint) Kejari Praya No: 12/P.2.11/Fd.1/02/2016.
Kasus ini mulai digarap kejaksaan sejak bulan Januari 2015 setelah menemukan adanya kejanggalan, karena beberapa item proyek ini belum tuntas meski sudah provisional hand over (PHO). Hal ini mengingat batas waktu pengerjaan proyek itu tuntas tanggal 16 Desember 2014, atau sepuluh bulan sejak dimulainya pekerjaan tanggal 3 Februari 2014. Proyek ini diduga di-mark up dan menyimpang dari anggaran yang telah ditetapkan.
Kemudian dinaikkan status penyidikan ini, setelah ditemukan dugaan kerugian negara sebesar Rp 164 juta. Angka ini ditemukan berdasarkan hitungan awal tim penyidik kejaksaan bersama tim teknis Dinas PUESDM Lombok Tengah, dari pagu anggaran Rp 1,4 miliar. (cr-ap)
Rendahnya hasil akhir dari penghitungan tersebut, kemungkinan besar akan memakai hasil hitungan Pusdem. Atau pihaknya akan menggunakan penyusunan dalam pendakwaan di pengadilan.
Dijelaskan, rendahnya hasil kerugian Negara menurut BPKP NTB, yang ditimbulkan dalam pembangunan RPH Barabali, ada beberapa kerugian Negara yang tidak dimasukkan dalam penghitungan.
Sebut saja, selama dua tahun pembangunan RPH tersebut tidak bisa dimamfaatkan, pasilitas pendukung yang tidak sesuai dengan spek tidak dimasukkan dan beberapa titik lainnya. Semestinya BPKP harus menghitungnya secara total los. Sebab azaz mamfaat dari pembangunan selama 2 tahun mangkrak, itu harus dimasukkan dalam neraca kerugian Negara.
“Tujuan pembangunan itu, harus bisa dimamfaatkan dengan baik, namun RPH ini sudah mangkrak selama 2 tahun, malah itu tidak dihitung,” ujarnya.
Dikatakan, pembangunan RPH ini dikerjakan tahun 2014 dengan jumlah anggaran sebesar RP 1, 4 Miliar, namun jika dilihat dari kualitas pengerjaannya, pihaknya menilai ada kerugian Negara yang ditimbulkan. Namun pihaknya sangat heran kenapa beberapa yang masuk dalam hitungan, malah BPKP tidak memasukkan dalam kerugian Negara.
“Kita sudah berikan kepercayaan sebagai ahli hitung, malah hasilnya semakin parah, kit yng bukan ahli hitung bisa memprediksikan kalau pembangunan RPH itu, ada unsure Korupsi,” ungkapnya. (cr- ap)