
SELONG – Setelah melalui proses yang cukup panjang, penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Selong akhirnya menetapkan tersangka dalam kasus penerbitan sertifikat hak milik (SHM) di kawasan hutan Lindung Sekaroh RTK 15.
Dalam kasus ini, kejaksaan pun menetapkan sebanyak enam orang sebagai tersangka. Dari enam tersangka itu, lima orang merupakan mantan pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lotim. Mereka diantaranya, RML mantan Kasubsi Pemberian Hak Atas Tanah BPN Lotim yang saat ini menjabat sebagai kepala BPN Lombok Barat (Lobar). Kemudian JML, mantan Kasi Hak Atas Tanah di BPN Lotim yang kini menjabat Kepala BPN Sintang Kalimantan Barat. Selanjutnya MM mantan Kasi Pengendalian Tanah BPN Lotim dan FI mantan Kasi Pengukuran dan Penguasaan Tanah BPN Lotim. Sementara satu tersangka lagi yaitu Kades Pemongkong inisial LMM. Dia dijadikan tersangka terkait jabatan sebagai kades saat itu, sebelum terpilih kembali. ‘’ Kasus kepemilikan sertifikat pribadi di kawasan Sekaroh ini kita lakukan penetapan tersangkanya sekitar dua minggu lalu ,”ungkap Kasi Pidsus Kejari Selong Iwan Gustiawan, Selasa kemarin (6/6).
Dikatakan , penyidik telah memiliki bukti cukup untuk menetapkan enam orang ini sebagai tersangka. Dalam kasus ini, mereka ketika itu merupakan anggota panitia A. Merekalah yang mengurus segala tahapan sebagai syarat penerbitan sertifikat. Mulai permohonan, pengkajian, pengajuan hingga menyetujui permohonan penerbitan puluhan sertifikat hak milik tersebut. Padahal mereka sudah mengetahui, jika kawasan itu tidak boleh dikuasi secara pribadi. Sebab kawasan ini sudah jelas masuk kawasan hutan lindung yang dikuasai pemerintah.
‘’ Disanalah keterlibatan para tersangka ini,” ungkap Iwan.
Perbuatan para tersangka menyebabkan negara mengalami kerugian yang cukup signifkian. Nilai kerugian negara yang telah dikantongi pihak kejaksaan mencapai Rp 60 miliar lebih. Ini berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan oleh Badan Litbang Kemen LHK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Setelah enam orang ini dijadikan tersangka, penyidik pun kata Iwan, juga telah melakukan pemeriksaan terkait dengan status mereka sebagai tersangka. Selama pemeriksaan baik itu ketika masih tahap penyelidikan, hinga kasus ini ditingkatkan ke penyidikan, para tersangka ini dianggap sangat kooperatif. Mereka tetap datang memenuhi panggilan kejaksaan untuk dimintai keterangannya. ‘’ Kemungkinan mereka akan kita periksa lagi untuk dimintai keterangan tambahan guna melengkapi berkasnya ‘’ terangnya.
Sedangkan untuk berkas enam tersangka ini, penyidik membaginya dalam dua berkas secara terpisah. Berkas pertama untuk lima orang tersangka, semuanya mantan pejabat BPN Lotim. Sedangkan satu berkas lagi, merupakan berkas tersangka Kades Pemongkong. Kini berkas para tersangka ini diupayakan secapatnya bisa dirampungkan agar segera dilimpahkan pihak penyidik ke jaksa penuntut. ‘’ Setelah kita menetapkan tersangka, tinggal kita melengkapi berkas. Kita upayakan minggu ini berkasnya bisa kita limpahkan ‘’ janji Iwan.
Ketika ditanya, apakah akan ada tersangka baru ? Iwan menyebut kemungkinan bisa saja ada selain enam orang tersangka ini. Tapi semua itu akan ditentukan berdasarkan pengembangan hasil penyidikan dan fakta-fakta baru yang nantinya muncul ketika persidangan.‘’ Soal itu, cukup mungkin. Tapi kita akan lihat perkembangan penyidikan enam tersangka ini,” tutup Iwan.
Data yang diperoleh Radar Lombok, sepanjang tahun tahun 2000 sampai 2009, BPN telah menerbitkan sebanyak 19 sertifikat hak milik di hutan lindung Sekaroh. Pemprov NTB sendiri sudah berkali-kali meminta BPN membatalkan sertifikat itu namun tidak diindahkan.Mengingat, pembatalan sertifikat sifatnya wajib sesuai dengan Undang-Undang (UU) dan peraturan yang berlaku.
Asisten I Pemprov NTB, HM Agus Patria mengungkapkan, sampai saat ini BPN masih bungkam atas rekomendasi tim yang dibentuk pemprov beberapa waktu lalu. “Kan di dalam tim itu ada juga pihak BPN, hasil kajiannya sudah kita tahu bersama. Tapi anehnya BPN belum juga melaksanakan kewajibannya,” ujar Agus belum lama ini.
Dituturkan, telah ada kesepakatan antara pemprov dengan BPN, bahwa apapun hasil tim akan dilaksanakan oleh semua pihak. Namun pada kenyataannya, pihak BPN tidak menjalankan rekomendasi tim tanpa alasan yang jelas.
Keputusan Pemprov agar BPN membatalkan SHM di Sekaroh, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 399/KPTS-II/1990 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan, peta kawasan hutan Sekaroh, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 418/KPTS-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan di NTB seluas 1.021.566 hektare.
Selain itu, terang Agus, ada juga Surat Keputusan (SK) Gubernur NTB Nomor 497 tahun 1990 tentang Pembentukan Panitia Tata Batas Hutan di Kabupaten se-NTB, berita acara tata batas kelompok hutan Sekaroh, Kecamatan Keruak Lombok Timur tanggal 14 Maret 1992, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Surat edaran Menteri Kehutanan dengan nomor SE.3/Menhut-II/2012 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 tentang Pengajuan Konstitusionalisasi pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan.
Gubernur NTB juga telah bersurat pada tanggal 29 Mei 2015, yang ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang serta Kepala BPN, isinya tentang permohonan penelusuran dan peninjuan kembali atas sertifikat dalam kawasan hutan Sekaroh RTK.15 di Lombok Timur.
Menurut Agus, terdapat dua perbedaan yang signifikan antara pemprov dengan pihak BPN. Perbedaan pendapat tersebut terkait dengan status sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN. Pemprov yakin, bahwa puluhan sertifikat pribadi itu berada di dalam kawasan hutan Sekaroh. Sedangkan dari pihak BPN sendiri, sebelumnya berkeyakinan sertifikat yang dipersoalkan berada di luar kawasan hutan. “Semua kan sudah jelas kalau telah terjadi cacat administrasi,” tegas Agus.
BPN juga berkeyakinan mengeluarkan sertifikat sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan. Padahal sejak tahun 1998 terdapat berita acara tata batas kelompok hutan Sekaroh. Berita acara yang disepakati sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Menteri Pertanian Nomor 756/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982, luas hutan 2.834,20 hektare dan panjang 62,37 kilometer. (lie/zwr)