Kasus Poltekpar Lombok Tengah Berpotensi Terjadi Kerugian Negara

Kasus Poltekpar Lombok Tengah Berpotensi Terjadi Kerugian Negara
SENGKETA: Lokasi pembangunan kampus Poltekpar Lombok di Desa Puyung tengah jadi sengketa. Nampak kampus Poltekpar dalam tahap pembangunan. (M Haerudin/Radar Lombok)

MATARAM – Pembangunan kampus Politeknik Pariwisata (Poltekpar) Lombok di Desa Puyung Kabupaten Lombok Tengah berpotensi  akan terjadi kerugian negara akibat sengketa lahan. Kerugian negara ini muncul apabila Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB kalah di tingkat kasasi atas gugatan penggugat Suryo warga yang mengklaim sebagai ahli waris pemilik lahan ini.

Di tingkat pertama, Pengadilan Negeri (PN) Praya, majelis hakim menolak gugatan Suryo atas lahan seluas seluas 41,555 hektar itu. Penggugat lalu banding. Majelis hakim PT Mataram mengabulkan gugatan penggugat itu. Pemprov NTB lalu mengajukan kasasi atas putusan PT Mataram itu.

Pakar hukum  dari Universitas Mataram, Prof Dr H Zainul Asikin SH SU mengatakan, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) RI membangun Poltekpar di NTB dengan jaminan pemerintah daerah menyediakan lahan. “Memang terjadi kerugian negara, Pemprov diminta sediakan lahan yang clean and clear. Nyatanya tanah sengketa. Disini salahnya pemda,” ujar Asikin kepada Radar Lombok, Selasa kemarin (19/12).

Atas hal tersebut, pemprov dinilai  telah melakukan wanprestasi karena membuat negara rugi. Oleh karena itu, menteri pariwisata dapat menggungat pemprov  atas kelalaiannya. Namun hal itu akan terjadi apabila pemprov kalah di Mahkamah Agung (MA).

Baca Juga :  Pemprov NTB Laporkan Putusan PT Mataram ke KY

Selain itu, lanjut Asikin, Pemprov NTB bukan hanya bisa dituntut kemenpar, tetapi juga oleh pemilik lahan yang sah atas nama Suryo. “Saya ikut menjadi mediator soal Poltekpar ini, tapi tawaran pemda terlalu rendah sehingga tidak tercapi kesepakatan,” ungkapnya.

Asikin lalu mengingatkan Gubernur TGH M Zainul Majdi terkait rencana membawa masalah Poltekpar ke Komisi Yudisial (KY). “Hak setiap orang melapor ke KY, itu kalau memang ada bukti faktual yang dimiliki pemda. Tapi jika tidak ada bukti, maka dapat menjadi bumerang,” ucapnya.

Dia lalu mewanti-wanti pemprov taat pada putusan MA jika nantinya kalah saat kasasi. Apabila pemprov kalah, namun masih ingin bangunan di atas tanah tersebut tidak dirobohkan, maka harus membayar tanah dengan harga  yang ditentukan oleh appraisal independen. “Solusinya memang harus  membayar harga tanah, seperti Pemkot  Mataram kalah di MA soal sengketa kantor Lurah Pagutan. Itu Pemkot bayar tanah senilai Rp 9 miliar, padahal luas tanah hanya 2 are,” saran Asikin.

Sekretaris Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB, Ervyn Kaffah meminta gubernur  serius menyikapi sengketa Poltekpar karena menyangkut uang negara. “Gubernur harus memerintahkan stafnya membangun dan menguatkan concern bersama, termasuk dengan pihak warga penggugat bahwa Poltekpar ini penting bagi masyarakat untuk pembangunan sektor pariwisata. Lebih khusus lagi mengembangkan komunikasi positif dengan pihak warga penggugat,” kata Ervyn.

Ervyn juga berharap agar jajaran pemprov memberikan saran yang tepat ke gubernur. Hal itu penting agar tidak memunculkan kesan yang bias. “Ini soal masalah Poltekpar yang akan dibawa ke KY. Yang harus diketahui itu KY tidak punya kewenangan memeriksa putusan hakim, melainkan untuk mengawasi perilaku hakim sesuai kode etik hakim yang berlaku untuk menjaga martabat hakim,” jelasnya.

Apabila putusan hakim belum dirasa memenuhi rasa keadilan, langkah yang tepat adalah mengajukan kasasi. Dalam hal ada indikasi perilaku hakim yang tidak pantas dan melanggar etik, baik selama persidangan maupun di luar persidangan, itulah subyek yang bisa dilaporkan ke KY.

Baca Juga :  Warga Diminta Tempuh Jalur Hukum

Menurutnya, hal yang penting saat ini adalah semua pihak bisa menyatukan persepsi bahwa ada kepentingan bersama dalam proyek Poltekpar. “Berangkat dari concern bersama ini bisa dibangun pemahaman bersama, bahwa persoalan sengketa hukum terkait kepemilikan lahan bisa didudukkan pada posisi yang tepat, dengan prinsip jangan sampai menghambat pembangunan Poltekpar,” ujar Ervyn.

Dengan adanya perhatian bersama tersebut, ketika pemprov kalah maka pemilik lahan tetap bersedia menerima ganti rugi. Pemprov bisa menempuh negosiasi untuk pembayaran lahan tersebut. “Insya Allah semua pihak bisa tetap senang, dan Poltekpar yang ditunggu-tunggu bisa terwujud. Jadi, proses hukum sengketa lahan tidak apa-apa terus berjalan, pembangunan bisa jalan terus. Namun apapun hasil akhir proses hukumnya harus bisa diterima oleh semua pihak, berikut konsekuensi yang mengikutinya,” kata Ervyn. (zwr)

Komentar Anda