Kasus Pernikahan Anak di NTB Masih Tinggi

Nurhandini Eka Dewi (RATNA/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Kasus pernikahan anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masih tinggi. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB, jumlah anak yang mengajukan dispensasi nikah sepanjang 2021-2022 mencapai 1.837 anak. Data itu dihimpun dari 10 Kabupaten/Kota di NTB.

“Yang sudah dilakukan belas, atau pemisahan ada 10 pasang selama tahun 2023. Salah satu kesepakatan jika ada perkawinan anak, dipisah 10 orang,” ungkap Pj Kepala DP3AP2KB Provinsi NTB, dr. Nurhandini Eka Dewi, saat ditemui di Mataram.

Meski begitu Eka mengklaim kasus pernikahan anak di NTB pada 2022 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2021. Tercatat sebanyak 710 anak telah mengajukan dispensasi perkawinan di Pengadilan Tinggi Agama Mataram tahun 2022. Sedangkan tahun 2022 jumlahnya mencapai 1.127 anak.
Disebutkan jumlah pemberian dispensasi nikah tertinggi ada di Pengadilan Agama Bima yaitu sebanyak 276 anak. Berikutnya Pengadilan Agama Dompu sebanyak 171 anak, Pengadilan Agama Sumbawa 122 anak, dan Pengadilan Agama Praya sekitar 47 anak.

Kemudian Pengadilan Agama Girimenang sebanyak 39 anak, Pengadilan Agama Selong 31 anak, dan Pengadilan Agama Taliwang sekitar 21 anak. Sedangkan dispensasi nikah paling sedikit dari Pengadilan Agama Kota Mataram hanya 3 anak.

Dijelaskan Eka beberapa faktor yang menjadi penyebab banyaknya kasus pernikahan anak di NTB. Antara lain kultur sosial budaya merarik atau kawin lari yang salah difahami kebanyak orang. Padahal jika dilihat dari kajian budaya merarik itu hanya cara bukan berarti harus melarikan tanpa persetujuan. Pernikahan itu adalah kesepakatan keluarga.
“Budaya tidak salah yang salah adalah orang-orang yang tidak mengetahui pernikahan anak itu tidak boleh,” katanya.

Kemudian kondisi ekonomi orang tua yang rendah juga menjadi penyebab maraknya perkawinan anak di NTB. Lingkungan membentuk seorang anak menginginkan pasangan kaya atau keluarga terpandang demi mengurangi beban ekonomi keluarga. Walhasil anak menjadi putus sekolah dan memilih untuk nikah muda.

“Pernikahan pada anak juga disebabkan karena putus sekolah. Karena tidak memiliki kegiatan lain sehingga memilih untuk menikah,” ujarnya.
Oleh karena itu Pemprov memberikan antensi yang besar terhadap maraknya kasus pernikahan dini pada anak di NTB. Sebab, dampak lain dari pernikahan anak sangat banyak.
Mulai dari perceraian yang tinggi akibat tidak siap nikah, termasuk kekerasan terhadap anak dan perempuan. Belum lagi masalah stunting pada anak akibat kondisi ibu yang melahirkan diusia muda. “Kemudian dampak lain dari perceraian anak tidak terurus ibu bapaknya kawin lagi anak ikut nenek dan anaknya jadi stunting,” ujarnya.

Melihat itu, pihaknya sudah sepakat dengan PPI, Komnas Perempuan, Kemenkumham untuk melakukan pengendalian perkawinan pada anak dibawah umur. Menurutnya penanganan pernikahan anak ada dua cara. Pertama dibelas atau dipisah.
Jika upaya pemisahan tidak bisa, maka mau tidak mau pernikahannya harus disahkan sesuai aturan perlindungan hukum tanda perkawinan tersebut. “Kalau berdasarkan Perda tidak bisa kalau tidak ada dispensasi pernikahan,” ujarnya.

Dari sisi regulasi upaya pencegahan perkawinan pada anak di NTB juga sudah dituangkan dalam Perda Nomor 5 tahun 2021 dan Pergub Nomor 43 Tahun 2023 tentang bagaimana langkah Pemprov dalam mencegah pernikahan anak.
“Bagi mereka yang sudah terlanjur menikah maka penangananya harus dibelas atau dipisah. Sedangkan mereka yang tidak mau dipisah maka secara hukum harus meminta dispensasi pernikahan,” terangnya.

Tidak hanya itu Pemprov bersama bersama instansi terkait ada Dikbud, Kanwil Kumham dan Kemenag serta DP3AKB dan BKKBN sudah banyak melaksanakan program pencegahan pernikahan anak. Misalnya sosialisasi pencegahan perkawinan anak, memfasilitasi pembentukan forum anak serta mendorong terwujudnya KLA.
“Kemenkumham membuat film yang mengedukasi tenting keberhasilan belas atau pemisahan anak yang nikah muda. Mereka yang dipisah kemudian melanjutkan sekolahnya,” katanya.

Terpenting bagi anak-anak dibawah umur yang terlanjur menikah. Tapi ingin melanjutkan sekolah sampai ke jenjang SMA. Pemprov NTB menyiapkan SMA terbuka di Kabupaten/Kota. Dan lulus ijzah yang diperoleh sama dengan sekolah umum lainnya.
“Disatu sisi mungkin dia tidak bisa melanjutkan sekolah karena suatu hal. Tetapi kita berikan peluang untuk bisa melanjutkan sekolah dan itu salah satu upaya untuk mengendalikan perkawinan anak,” jelasnya.

Terpisah, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani mengatakan salah satu penyebab banyaknya kasus pernikahan anak di NTB, lantaran angka pendidikannya yang relatif rendah. Sehingga dari aspek kematangan emosional untuk jadi orang tua bisa jadi tidak ada.

“Rata-rata angka panjang (lama) sekolahnya di NTB rendah secara nasional dibawah. Ini juga sangat mempengaruhi kapasitas untuk membangun rumah tangga. Akibatnya kita melihat angka perceraian tinggi sekali di NTB,” terangnya. (cr-rat)