MATARAM – Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB memanggil 11 saksi untuk diperiksa dalam kasus dugaan korupsi Lombok City Centre (LCC), setelah dinaikkan ke tahap penyidikan beberapa waktu lalu. “Iya, ada 11 orang yang dijadwalkan untuk dimintai keterangan terkait penyidikan kasus LCC,” kata Kasi Penkum Kejati NTB Efrien Saputera, Senin (26/8).
Mereka diperiksa Senin (26/8) kemarin. Efrien mengaku tidak tahu pasti apa saja jabatan 11 orang itu. Hanya membeberkan inisialnya saja, yaitu LAS, AM, HMT, BDH, DHMU, LP, LGR, MN, DSM, MA dan DZA. “Terkait jabatan belum dapat info dari penyidik,” ungkapnya.
Salah satu yang diperiksa Kejati NTB itu ialah mantan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Lobar, Burhanudin. “Iya, saya dipanggil jadi saksi,” ujar Burhanudin ke awak media usai menjalani pemeriksaan.
Burhanudin mengaku dirinya diperiksa bersama mantan Sekda Lobar H. M. Uzair. Ia mengaku diajukan sekitar 20 pertanyaan oleh penyidik. “Kurang lebih hampir 20 (pertanyaan). Yang intinya saya diminta klarifikasi tentang proses awal penyertaan modal di PT Tripat,” sebutnya.
Penyertaan modal ke BUMD itu berkaitan dengan lahan seluas 8,4 hektare yang menjadi tempat pembangunan pusat perbelanjaan yang berada di Desa Gerimak, Kecamatan Narmada, Lobar tersebut. “Sampai sana tugas saya. Setelah itu, kalau masalah KSO dan sebagainya saya tidak tahu,” ucap dia.
Kejati NTB menaikkan status penanganan kasus ini setelah mengantongi adanya indikasi kerugian negara dalam pengelolaan pusat perbelanjaan tersebut. Namun, potensi kerugian negara yang timbul dalam kasus ini belum dirincikan. Penyidik masih menelusurinya dengan auditor.
Potensi kerugian negara yang ditemukan, berdasarkan adanya hasil pemeriksan dari saksi ahli. “Ahli bilang dapat dihitung, ada kerugian negara,” kata Efrien belum lama ini.
Selain adanya indikasi kerugian negara yang menjadi alasan naiknya kasus tersebut ke tahap penyidikan, penyidik juga telah mengantongi sejumlah perbuatan melawan hukum (PMH) dalam kasus tersebut.
Bahkan, Efrien menyebut penyidik sudah banyak mengantongi PMH dalam kasus ini. Namun enggan dirincikan secara detail. “Banyak. PMH-nya itu ada beberapa aturan yang dilanggar. Jadi, proses penyelidikan kita cari PMH dan indikasi kerugian negara. Begitu kita yakin ada (PMH dan potensi kerugian negara), kita naikkan dik (penyidikan),” ujarnya.
Sewaktu kasus ini masih dalam tahap penyelidikan, perbuatan melawan hukum yang telah ditemukan penyidik berkaitan dengan kerja sama PT Tripat dengan PT Bliss yang diduga melanggar ketentuan. Dalam isi kerja sama operasional (KSO), mestinya memiliki jangka waktu. Beberapa butir kesepakatan dalam KSO banyak yang dinilai menyalahi aturan.
Sebelumnya, penyidik telah mendatangkan saksi untuk dimintai keterangan dalam tahap penyelidikan. Salah satunya ialah mantan Bupati Lobar Zaini Arony dan mantan Kepala BPKAD Lobar Burhanudin.
Sebagai informasi, Kejati pernah mengusut dugaan korupsi di LCC. Waktu itu, dua orang menjadi tersangka. Yaitu mantan Direktur PT Tripat Lalu Azril Sopandi dan mantan Manajer Keuangan PT Tripat Abdurrazak.
Di pengadilan, keduanya dinyatakan teebukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama sehingga menimbulkan kerugian negara. Terhadap Lalu Azril Sopandi dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. Selain itu ia juga dibebankan membayar uang pengganti sebesar Rp 891 juta subsider 2 tahun penjara.
Sedangkan vonis untuk Abdurrazak, 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. Abdurrazak juga turut dibebankan membayar uang pengganti senilai Rp 235 juta subsider satu tahun penjara.
Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim menguraikan proses penyertaan modal dan ganti gedung yang dibangun pada tahun 2014. Saat Azril Sopandi masih menduduki jabatan Direktur PT Tripat, BUMD ini mendapat penyertaan modal dari Pemda Lobar berupa lahan strategis di Desa Gerimak, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat.
Lahan itu kemudian menjadi modal PT Tripat untuk membangun kerja sama dalam pengelolaan LCC, dengan pihak ketiga yakni PT Bliss. Lahan seluas 4,8 hektare dari total 8,4 hektare dijadikan agunan PT Bliss. Dari adanya agunan tersebut, PT Bliss pada tahun 2013 mendapat pinjaman Rp 264 miliar dari Bank Sinarmas.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram menyebut perjanjian kerja sama PT Tripat dengan PT Bliss merupakan pelanggaran hukum. Sebab selain klausul mencantumkan periode kerja sama yang tanpa batas waktu, juga tertutupnya peluang adendum. Pelanggaran hukum lainnya yaitu, lahan yang tidak boleh diagunkan tetapi ternyata diagunkan juga di bank. (sid)