Kasus KUR Jagung dan Tembakau Fiktif, Kejati Dalami Peran Pihak Lain

DIPERIKSA : Belasan saksi kembali diperiksa penyidik Kejari Lombok Timur untuk tiga orang tersangka kasus Alsintan bertempat di kantor Camat Jerowaru. (Dok/Radar Lombok)

MATARAM – Kasus dugaan korupsi penyaluran bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif jagung di Lombok Timur masih bergulir. Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB yang menangani kasus tersebut masih terus mendalami adanya peran orang lain.”Kami masih dalami peran orang lain,” ucap Kasi Penkum Kejati NTB, Efrien Saputera, (6/10).

Dalam kasus ini, Kejati sudah menetapkan dua orang tersangka. Masing-masing berinisial AM dan IN. Kejati juga sudah menaruh potensi kerugian negara yang mencapai Rp 29,95 miliar. Untuk tambahan tersangka baru yang akan mempertanggungjawabkan kerugian negara tersebut, Efrien masih belum membukanya.”Intinya masih dilakukan pendalaman, kalau ada pasti kami infokan,” katanya.

Potensi kerugian negara Rp 29,95 milia tersebut dilihat dari jumlah petani sebanyak 789 orang. Diyakini, perkara yang menyeret dua orang tersangka tersebut masih berlanjut. Dan sejauh ini masih dilakukan tahap pemeriksaan saksi-saksi, seperti para tani yang tercatut namanya sebagai penerima.

Kepala Kejati NTB, Sungarpin, juga mengatakan masih dalam proses. Penyidik belum selesai 100 persen melakukan pemeriksaan terhadap petani.

Di samping proses pemeriksaan yang berlanjut, Kejati sudah  berkoordinasi dengan tim auditor, yaitu Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB untuk melakukan perhitungan kerugian negara.

Untuk diketahui, kasus ini sebelumnya ditangani Kejati NTB atas adanya laporan masyarakat, terutama para petani yang menjadi korban pengajuan KUR fiktif di BNI. Permasalahannya yaitu para petani kesulitan untuk mendapatkan akses pinjaman di bank. Hal tersebut disebabkan karena para petani telah tercatat namanya sebagai penerima pinjaman KUR di BNI. Padahal para petani sama sekali tidak pernah menerima dana KUR tersebut.

Total jumlah petani tembakau yang tercatat sebagai penerima KUR fiktif ini sekitar 460 orang. Sebagian besar adalah petani tembakau di Kecamatan Keruak dan Jerowaru. Dari jumlah tersebut total pinjaman KUR fiktif yang menjual nama petani ini mencapai Rp 16 miliar lebih.

Kasus ini bermula pada Agustus 2020. Ketika itu, Dirjen salah satu kementerian melakukan pertemuan dengan para petani di wilayah selatan Lombok Timur. Dalam pertemuan itu, Dirjen tersebut memberitahukan terkait adanya program KUR untuk para petani.

Informasi itu lalu ditindaklanjuti dengan pengajuan nama petani yang diusulkan mendapatkan kredit. Untuk petani jagung sekitar 622 orang yang tersebar di lima desa. Yang paling banyak adalah petani jagung di Desa Ekas Buana dan Sekaroh Kecamatan Jerowaru. Setiap petani dijanjikan pinjaman sebesar Rp 15 juta per hektare dengan total luas lahan mencapai 1.582 hektare.

Sementara petani tembakau yang tercatat sebagai penerima KUR ini sekitar 460 orang. Sebagian besar adalah petani tembakau di Kecamatan Keruak dan Jerowaru. Setiap petani dijanjikan dana KUR mulai Rp 30 juta sampai Rp 50 juta per orang.

Para petani yang terdata sebagai penerima KUR diwajibkan menandatangani berkas-berkas pendukung untuk kelancaran pengajuan pinjaman tersebut. Proses penandatanganan dilakukan oleh petani jagung di lima desa di wilayah Kecamatan Jerowaru yang melibatkan pihak ketiga atau off taker yaitu CV. Agro Briobriket dan Briket (ABB) serta oknum pengurus HKTI NTB sebagai mitra pemerintah dan BNI Cabang Mataram sebagai mitra perbankan dalam penyaluran KUR. Sementara untuk petani tembakau melalui BNI Cabang Praya.

Saat proses pengajuan KUR ini, pihak BNI langsung turun meminta tanda tangan para petani dengan dilengkapi berkas pinjaman. Skema KUR tani melibatkan pihak ketiga atau off taker, yaitu CV ABB. Perusahaan atau off taker ini kuat dugaan ditunjuk langsung dari pihak kementerian, termasuk juga salah satu organisasi di NTB yang bergelut di bidang pertanian.

Namun persoalan mulai muncul ketika sejumlah petani yang ingin mengajukan pinjaman di BRI tidak bisa diproses. Mereka dinilai keuangannya bermasalah karena memiliki pinjaman dan tunggakan KUR di BNI. Tunggakan mereka pun beragam, mulai dari Rp 15 juta hingga Rp 45 juta tergantung dari jumlah luas lahan yang dimiliki. Sementara petani ini mengaku tidak pernah menerima dana kredit itu (cr-sid)

Komentar Anda