MATARAM – Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi NTB Wedha Magma Ardhi tidak gentar dilaporkan ke Polda NTB terkait kasus proyek jalan Pengantap – Montong Ajan – Kuta (DAK) senilai Rp 23.077.962.000,00.
Ia tidak membantah ada terjadi perbedaan antara rancangan anggaran proyek dalam dokumen dengan realisasi di lapangan. Dijelaskan, dalam dokumen memang rancangan anggaran proyek ini untuk peningkatan jalan. Persoalannya lokasi proyek jalan Pengantap – Montong Ajan – Kuta, banyak rumah penduduk yang sudah berdiri. Oleh karena itu, dilakukan trase jalan sekitar 1,2 kilometer. “Itu tetap namanya peningkatan jalan kok, kita tidak buka jalan baru. Karena memang dimungkinkan kita relokasi karena banyak rumah penduduk. Trase juga hanya sedikit sekitar 1,2 kilometer,” terangnya kepada Radar Lombok Selasa kemarin (6/9).
Ardhi tidak gentar meski dilaporkan oleh pemilik lahan ke Polda karena dianggap melakukan tindakan perampasan hak milik orang lain. Apalagi rapat koordinasi (Rakor) antara Pemprov NTB degan Pemkab Lombok Tengah bersama Polda NTB telah dilakukan.
Dikatakan, Polda memberikan ruang untuk mediasi dan apapun hasilnya akan diikuti. Namun, Ardhi menegaskan bahwa tidak akan ada ganti rugi atau dispensasi kepada masyarakat yang merasa sebagai korban. “Menurut saya kita kembali pada kesepakatan awal, tanah itu sudah dihibahkan. Jadi tidak ada ganti rugi,” tegasnya.
Selama ini lanjutnya, pemprov selalu berupaya mencari solusi terbaik. Bahkan ketika kasus ini belum dibawa ke ranah hukum, Ardhi mengaku telah mencoba duduk bersama. “Dulu itu (waktu disomasi – red) masih proses kita cari solusi, tapi mereka saja yang tidak sabar sehingga lapor ke Polda,” ujarnya.
Sikap Kepala Dinas PU Wedha Magma Ardhi dikuatkan lagi oleh Wakil Gubernur NTB H Muhammad Amin. Politisi Partai Nasdem itu juga menilai pemprov tidak akan memberikan ganti rugi seperti permintaan pihak pelapor.
Menurut Amin, jauh hari sebelum proyek jalan dimulai, telah ada kesepakatan antara pemerintah dengan pemilik lahan. Semuanya sudah sepakat menghibahkan lahannya demi kepentingan bersama. “Terus tiba-tiba sekarang tuntut ganti rugi, anehnya lagi hampir ada 17 sertifikat baru yang terbit tahun 2016. Ini kan aneh, kok tiba-tiba bisa banyak sertifikat baru,” ungkap Amin.
Dia meminta kepada aparat penegak hukum untuk tidak memandang hitam-putih persoalan ini. Penegak hukum diminta tidak aktif memproses kasus ini karena banyak hal yang harus dipertimbangkan. “Ini kan jalan untuk kemajuan masyarakat sendiri, kok malah dipersulit. Saya bukannya mau intervensi penegak hukum, tapi ini kan juga pidana umum dan bukan pidana khusus. Jadi harus lihat secara teliti dan bijaksana,” kata pria yang pernah menjadi advokat tersebut.
Proyek jalan Pengantap – Montong Ajan – Kuta dikerjakan oleh PT Metro Lestari Utama. Pelapor kasus ini adalah para pemilik lahan yang dilalui proyek jalan tersebut. “Kita akan selesaikan masalah ini secara kekeluargaan saja, tidak perlu pakai jalur hukum,” ujar Amin.
Kasus ini bermula dari Dinas PU yang dinilai sewenang-wenang karena melaksanakan proyek pembangunan jalan di atas lahan milik masyarakat tanpa melakukan ganti rugi terhadap PT Ircocitra Grahanusa, Irwan Sanusi dan Badriah warga Bintaro Kecamatan Ampenan Kota Mataram.
Sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Kombes M. Suryo Saputro menyampaikan, pihaknya telah mengantongi nama yang akan mengarah pada tersangka. Namum untuk menetapkan status tersangka masih belum bisa dipastikan karena masih dalam tahap penyelidikan.
Dijelaskan, proyek peningkatan jalan yang ditangani oleh Dinas PU Provinsi NTB ada indikasi kesalahan. Pasalnya, temuan di lapangan bukan peningkatan jalan sesuai dengan dokumen yang ada, tapi pembuatan jalan baru. “Dokumen yang saya pegang adalah peningkatan jalan, tapi fakta yang saya lihat pembuatan jalan baru,”jelasnya. (zwr)