TANJUNG– Konsorsium Advokasi Anggaran (KAA) mendatangi gedung DPRD Lombok Utara, kemarin.
Mereka mempertanyakan terkait realisasi akuntabilitas kinerja dewan. “Kami melihat dewan ini sering kunjungan kerja keluar daerah, dan kami ingin tahu apa yang dilakukan dalam kunjungan itu dan menghasilkan apa,” tanya Ketua KAA, Marianto, Selasa kemarin (8/8).
Ditambahkannya, berdasarkan akuntabilitas pelayanan publik Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, PP 58 Tahun 2005 tentang keuangan daerah, prinsip penggunaan APBD UU No 17 Tahun 2003, dan UU Nomor 17 Tata Tertib MD3 Tahun 2014. Pihaknya ingin mengetahui bagaimana kinerja DPRD dengan kegiatan kunker yang sangat sering dilakukan. “Sampai hari ini masyarakat belum melihat hasil kinerja DPRD secara nyata,” tandasnya.
Dalam catatan KAA, anggota DPRD KLU melakukan kunjungan kerja paling sedikit sebanyak dua kali dengan anggaran masing-masing orang Rp 13 juta lebih maka anggaran yang dibutuhkan Rp 806 juta lebih atau Rp 9,6 miliar lebih setiap tahunnya. “Berarti dalam setahun DPRD ini menghabiskan tujuh persen APBD untuk kunker. Ini baru kunker wajib bila ada kunker tambahan bisa menghabiskan Rp 1,7 miliar sebulannya,” cetusnya.
Namun dengan biaya yang sudah dihabiskan DPRD untuk kunker ternyata tidak berdampak signifikan terhadap realisasi akuntabilitas kinerja dewan. “Sudah dua tahun DPRD berjalan tetapi tidak ada perda inisiatif yang dihasilkan,” tandasnya. “Seharusnya dengan fantastisnya anggaran untuk kunker selaras dengan hasil yang didapatkan. Tapi sampai sekarang jalan-jalan itu tidak ada hasilnya,” imbuhnya.
Sementara itu, Wakil Ketua II DPRD KLU, Sudirsah Sudjanto mengatakan, kinerja DPRD sesuai peraturan perundangan-undangan. DPRD memiliki tiga fungsi yakni legislasi, budgeting, dan pengawasan. Untuk kinerja DPRD dalam melahirkan produk hukum, DPRD pada 2016 khususnya Banlegda akan membahas 27 Raperda dan sampai sekarang sudah ada 11 Ranperda yang disahkan. “Ini bentuk keseriusan legislatif dan eksekutif,” katanya.
Selain itu, saat ini ada tiga Raperda yang sedang dalam pembahasan yakni raperda RPJMD, raperda pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa, dan raperda pengisian perangkat desa. “Kenapa baru 11 yang sudah disahkan, perlu diketahui mekanismenya. Dalam membahas raperda legislatif harus menunggu draf dari eksekutif terlebih dulu baru dibahas,” jelasnya.
Terkait kunker yang dilakukan DPRD, Sudirsah menjawab bahwa itu semua sesuai peraturan perundang-undangan. Kunker ini sudah diatur juga dalam perda APBD. “DPRD berhak melakukan konsultasi, studi banding, dan kunker terkait permasalahan yang ada di daerah ini dan terkait raperda yang dimasukkan eksekutif mencari perbandingan dengan daerah lain,” tandasnya.
Ketua Komisi I DPRD KLU, Ardianto mengatakan, perda inisiatif itu tidak semua bisa dituangkan DPRD. Misalnya saja perda inisiatif kita ternyata sudah dituangkan dalam prolegda jadi tidak perlu diinisiasi lagi. “Yang kedua adalah anggaran karena tidak ada anggaran di DPRD dalam hal pembuatan raperda,” ungkapnya.
Terkait, biaya kungker, Ardianto mengatakan setiap perjalanan dinas selalu diakhiri dengan pertanggung jawaban kegiatan dan sudah diperiksa BPK. “Bahkan ada kelebihan yang harus kami kembalikan. Tidak ada persoalan selain administrasi dan sudah dipertanggung jawabkan masing-masing anggota DPRD,” tandasnya. (zul)