MATARAM — Menjelang vonis, jaksa meminta agar mantan Direktur PT Gerbang NTB Emas (GNE), Samsul Hadi dan Direktur PT Berkah Air Laut (BAL), William John Matheson dicekal. Ini dilakukan untuk menghindari kedua terdakwa berusaha melarikan diri ke luar negeri pasca ditetapkan menjadi tahanan kota oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Mataram.
Kedua orang yang dimintakan untuk dicekal itu adalah terdakwa perusakan ekosistem laut akibat eksplorasi air tanah tanpa mengantongi izin di kawasan wisata Gili Trawangan dan Gili Meno, Kabupaten Lombok Utara (KLU). Sebelumnya, mereka ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Kuripan, Lobar. “Kemarin ada permintaan (surat permohonan) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram ke Kejati untuk pencekalan,” kata Kasi Penkum Kejati NTB Efrien Saputera, Minggu (1/9).
Surat permohonan Kejari Mataram itu pada Rabu (28/8) kemarin. Kejati pun langsung meneruskan surat tersebut, ke Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, sebagaimana yang tercantum dalam tembusan surat itu. “Sudah kami teruskan ke Kejagung, nanti pihak Kejagung yang bersurat ke Imigrasi,” sebutnya.
Permintaan pencekalan itu untuk menghindari kedua terdakwa melarikan diri ke luar negeri. Terlebih lagi salah satu terdakwa merupakan warga negara asing (WNA). Keluar negeri itu bisa saja terjadi, mengingat kedua terdakwa saat ini berstatus tahanan kota, sesudah ditangguhkan penahanannya dari tahanan rutan. “Itu tujuannya, menghindari terdakwa ke luar negeri,” ungkapnya.
Kedua terdakwa ditangguhkan penahanannya pada 29 Juli 2024 lalu oleh majelis hakim PN Mataram yang diketuai Lalu Moh Sandi Iramaya. Hakim memberikan penangguhan penahanan kedua terdakwa lantaran sakit. Bahkan, kedua terdakwa tidak hadir dalam persidangan selama 3 kali. “Terdakwa tidak hadir sidang 3 kali. Alasan penuntut umum karena terdakwa sakit,” kata Humas PN Mataram, Kelik Trimargo beberapa waktu lalu.
Mereka 3 kali tidak hadir dalam persidangan sebelum diberikan penangguhan penahanan. Terdakwa tidak hadir dalam persidangan dengan adanya surat keterangan sakit dari dokter. Akan tetapi, Kelik tidak mengetahui pasti sakit apa yang diderita terdakwa. “Tidak hadir dengan surat keterangan sakit dari dokter. (Terdakwa sakit apa) Ndak tau saya, saya ndak bisa tanya sampai situ, kewenangan majelis itu,” sebutnya.
Berdasarkan pencarian di sistem informasi dan penelusuran perkara (SIPP) PN Mataram, proses sidang masih berjalan. Tanggal 2 September besok, dengan agenda pembacaan tuntutan dari jaksa penuntut. Sebelumnya, pengalihan penahanan menjadi tahanan kota itu telah dimohonkan kedua terdakwa pada sidang pertama, dengan agenda pembacaan dakwaan dari penuntut umum, pada Kamis (20/6) petang lalu.
Namun hakim belum mengabulkan saat itu. Hakim yang diketuai Lalu Moh Sandi Iramaya mengabulkan dan mengalihkan penahanan kedua terdakwa menjadi tahanan kota, terhitung pada tanggal 29 Juli 2024. “Sekarang menjadi tahanan kota,” ujar Kelik.
Saat pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut, terungkap terdakwa Samsul Hadi mengantongi keuntungan sebesar Rp 1,25 miliar, dari aktivitas eksplorasi air tanah tanpa mengantongi izin di kawasan wisata Gili Trawangan dan Gili Meno, Kabupaten Lombok Utara (KLU).
Samsul Hadi mendapatkan keuntungan tersebut, dari Direktur PT Berkah Air Laut (BAL) William John Matheson yang diberikan secara bertahap dengan nominal yang berbeda. Pemberian uang itu mulai dari bulan November 2019 sampai Oktober 2022. Itu berdasarkan bukti transfer perbankan milik terdakwa William John Matheson kepada Samsul Hadi.
“Dengan demikian, terdakwa Samsul Hadi selaku Direktur PT GNE mendapatkan penghasilan dari kerjasama dengan PT BAL dalam kegiatan pengelolaan air bersih di Gili Trawangan dan Gili Meno, dengan total Rp 1,25 miliar,” kata Danny Curia Novitawan, mewakili tim jaksa penuntut umum membacakan dakwaan di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Mataram, waktu itu.
Aktivitas eksplorasi air tanah di dua gili yang dilakukan PT GNE bekerja sama dengan PT BAL tersebut, tanpa mengantongi surat izin pengeboran (SIP) dan surat izin pemanfaatan air tanah (SIPA) dan mengakibatkan adanya kerusakan sumber air, prasarana dan atau sumber air.
“Hal ini sesuai dengan hasil laporan pengecekan kondisi air tanah,l di sumur bor milik PT BAL di Gili Trawangan, oleh Iskandar dosen Fakultas Teknik Perminyakan ITB (Institut Teknologi Bandung) ahli di geologi kimia air ITB,” ucapnya.
Dalam dakwaan kedua terdakwa, jaksa turut mencantumkan hasil kesimpulan ahli geologi tersebut. Menunjukkan air tanah di sumber produksi air sumur bor terdekat telah terkontaminasi air laut. “Hasil ini telah memperkuat hasil studi sebelumya, yang menyebutkan pengambilan air tanah tidak mengakibatkan penurunan muka air, tetapi masuknya air laut ke akuifer dan menggantikan air tawar di akuifer,” sebutnya.
Kerusakan lingkungan telah terjadi, dimana air tanah di wilayah kajian sumur PT BAL menjadi lebih asin. Kerusakan lingkungan air tanah yang diakibatkan masuknya air asin, yaitu masuknya air laut ke sumur air tanah. “Kerusakan ini mengakibatkan air tanah di sumur produksi dan sekitarnya menjadi lebih asin dan tidak dapat dikendalikan secara alami karena resapan air yang terbatas,” ucap dia.
Areal resapan juga menjadi sempit. Efek jangka panjang aktivitas pengeboran tersebut, dapat mengakibatkan degradasi kualitas tanah dan air tanah yang berada di sekitar kawasan pengeboran. Jaksa dalam dakwaan juga menyampaikan bahwa PT BAL sebagai pelaksana teknis dari penyediaan air minum untuk masyarakat di Gili Meno dan Trawangan membangun dua lokasi sumur bor. “Satu (sumur bor) berada di Gili Meno dan satu lagi di Gili Trawangan,” ungkapnya.
Atas perbuatannya itu, kedua terdakwa disebut melanggar Pasal 70 huruf D juncto Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan/atau Pasal 69 huruf A dan B serta Pasal 69 huruf A dan B UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air jo. Pasal 56 ke-2 KUHP. (sid)