Jadi Tersangka, Ketua PHDI Ajukan Pemberhentian Penuntutan

PENGAJUAN: Ketua PHDI NTB Ida Made Santi Adnya sekaligus tersangka kasus ITE bersama Advokat NTB Bersatu mengajukan permohonan pemberhentian penuntutan atas kasus yang menjeratnya ke Kejati NTB. (ABDURRASYID EFENDI/RADAR LOMBOK)

MATARAM –  Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) NTB Ida Made Santi Adnya, yang menjadi tersangka kasus UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), mengajukan pemberhentian penuntutan atas kasus yang menjeratnya ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB.

Koordinator Advokat NTB Bersatu Yan Mangandar mengatakan, kedatangannya ke Kantor Kejati NTB karena merasa yakin, bahwa adanya dugaan ketidakprofesionalan yang terjadi pada tahap penyidikan dan pra-penuntunan pada kasus yang menjerat tersangka.

“Kami memasukkan surat permohonan pemberhentian penuntutan dan pengenyampingan perkara pidana demi kepentingan umum,” kata Yan sekaligus kuasa hukum tersangka saat ditemui di Kantor Kejati NTB, Selasa (2/8) kemarin.

Pertimbangannya, tersangka melakukan atau meng-upload objek bangunan Hotel Bidari sudah sesuai dan jelas. Bahkan objek yang di-upload tersebut sudah ada dalam amar putusan, eksekusi, dan lelang Pengadilan Negeri (PN) Mataram.

“Tujuannya baik, semata-mata demi kepentingan kliennya untuk mencari calon pembeli. Bayangkan saja, dia (tersangka) mempertahankan kliennya selama tujuh tahun. Dan sampai saat ini, Hotel Bidari belum dapat dieksekusi karena belum menemukan calon pembeli,” sebutnya.

Tersangka bertindak selaku kuasa hukum dari kliennya, yang tidak lain merupakan mantan istri pelapor. Dalam kasus tersebut tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak ada pihak lain dengannya bertransaksi. Dan hotel Bidari yang di-upload oleh tersangka belum ada yang menjadi calon pembeli, hingga saat ini. “Faktanya hingga saat ini, Hotel Bidari masih dikuasai oleh pihak pelapor. Tidak ada yang dirugikan,” sambungnya.

Perlu diketahui, lanjutnya, eksekusi memiliki dua bagian. Pertama, eksekusi secara sukarela yang dilakukan oleh pihak pengadilan. Kedua eksekusi lelang, dan eksekusi lelang ini sudah dilakukan satu kali terhadap keseluruhan objek. Sampai saat ini baru satu objek yang terjual.

Baca Juga :  Timses Caleg DPRD NTB Divonis Bebas

Ditegaskan, apa yang dilakukan oleh tersangka sudah sesuai dengan amar putusan dari pengadilan. Perihal lelang, tidak ada putusan yang bersifat kedaluwarsa. “Jadi lelang itu ada ketentuan waktu, dari tanggal sekian sampai tanggal sekian. Kalau waktu lelang sudah lewat, bisa diajukan kembali. Dan untuk lebih efektif dalam pelelangan, kita harus mencari calon pembeli. Faktanya juga sudah diajukan pelelangan itu dijadwalkan satu kali, tapi ternyata dari sekian banyak objek yang akan dilelang, hanya satu objek yang laku. Tidak ada putusan yang kedaluwarsa,” tegasnya.

Hal yang menyakinkan pihaknya bahwa pengajuan pemberhentian penuntutan ini adalah berlandaskan dengan alat bukti yang sangat kuat, yang akan diserahkan ke pihak Kejati NTB. Adapun bukti yang dimiliki berupa putusan dari tingkat pertama PN Mataram, banding, kasasi sampai dengan Mahkamah Agung (MA). MA ini ada dua, putusan kasasi dan putusan peninjauan kembali (PK). “Bahwa ini objek, objek ini ada kata bersama dan harus dibagi dua. Dan juga pernah dilakukan penilaian aset, yang juga sudah masuk dalam dokumen pelelangan,” imbuhnya.

Sementara itu, Kasi Penkum Kejati NTB Efrien Saputera mengatakan, apa yang menjadi permohonan tersangka akan ditindaklanjuti. Atas permohonan tersebut, nanti akan digelar di hadapan pimpinan, apakah bisa dilakukan restorative justice (RJ) atau tidak. “Artinya, keputusan itu ada di Jaksa Agung, nanti kami minta waktu untuk dilakukan ekspose di Kejagung,” ungkapnya.

Ditegaskan, apapun yang menjadi persoalan, merupakan kewajiban pihaknya untuk meneruskan ke pimpinan. Dan, dirinya juga tak berani menjanjikan bahwa permohonan tersebut akan terkabulkan. “Saya harap, apapun keputusannya nanti bisa diterima,” pungkasnya.

Baca Juga :  Terdakwa Pungli Pasar ACC Dituntut 1,5 Tahun Penjara

Diketahui, Ida Made Santi terjerat kasus ITE karena dilaporkan oleh salah seorang mantan suami kliennya. Masalah ini bermula ketika Made Santi menjadi kuasa hukum dari seorang wanita berinisial NS, untuk masalah pembagian harta gono-gini pascaperceraian dengan suami kliennya berinisial GG.

Pasca-perceraian NS dengan suaminya berinisial GG, persoalan pembagian gono-gini sudah diputuskan dibagi dua. Hal ini sesuai keputusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung RI. Objek gono-gini waktu itu ada 9, salah satunya adalah Hotel Bidari di Cakranegara. Karena gono-gini berupa benda material, sehingga tidak bisa langsung “digergaji” dan akhirnya diajukan lelang, sesuai dengan prosedur.

Permohonan lelang kemudian diajukan ke PN Mataram dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Hal itu juga melibatkan tim appraisal independen yang menilai estimasi harga objek gono-gini tersebut. Pengumuman lelang untuk Hotel Bidari juga sudah diumumkan Pengadilan dan KPKNL, termasuk di iklan media massa cetak.

Waktu itu pandemi covid-19 gelombang awal, sehingga penjualan lelang Hotel Bidari terkendala. Menurut taksiran tim appraisal, harganya mencapai Rp 20 miliar. Laku terjualnya Hotel Bidari cukup lama, sehingga pelelangan diumumkan melalui facebook. Dalam unggahan status Facebook-nya Made Santi waktu itu menuliskan. “Barang siapa berminat dengan hotel ini, bisa hubungi saya dan mendaftar ke kantor KPKNL Mataram”.

Postingannya disertai foto Hotel Bidari, dan sejumlah dokumen seperti hasil appraisal dan dokumen pengumuman KPKNL Mataram. Atas dasar postingannya tersebut, Made Santi dilaporkan ke Polda NTB oleh mantan suami kliennya dengan kasus ITE. Dengan alasan mem-posting objek tanpa seizin GG, mantan suami kliennya. (cr-sid)

Komentar Anda